Bab 26

17.4K 711 56
                                    

Lion tiba di mansion pribadinya, situasi yang sunyi juga sepi masih setia menemani keberadaannya ketika kembali, mimpinya jika kelak ia sudah menikah maka mereka akan menempati mansion ini hidup tenang juga damai di temani tawa-tawa anak kecilnya kelak, begitu Lion memimpikan momen itu, sayang sampai saat ini ia masih belum mampu mendirikan keputusannya.

Di sisi lain ia begitu mendamba Rebbeca, di lain pihak ia begitu menginginkan Prao berada dalam satu pelukannya.

Memang gila, namun itulah dia saat ini, kebimbangan yang terasa menggerogoti, egoisme yang semakin mendesak membuat Lion kesulitan barang sejenak untuk maju melangkah atau mundur berharap, Lion menyentuh sudut meja dengan satu telunjuk tangan lalu menyeretnya dengan perlahan di atas permukaan nakas, aroma dalam ruangan itu tak pernah berubah ia yakin jika Rebbeca berada di dalam, dari bunga-bunga yang mekar dengan kesegaran yang baru di petik, membuat Lion mampu memastikan jika instingnya tak mungkin salah.

Sampai di ujung ruangan, Lion bergeming di tempat menyaksikan bagaimana Rebbeca menata beberapa tangkai bunga masuk ke dalam Vas, sekali lagi Rebbeca mendapatkan satu nilai plus, Lion tersenyum singkat dengan langkah perlahan ia mulai menghampiri.

"Maafkan aku." Sebari meneluknya dari arah belakang, Lion berucap permohonan maaf tak luput dengan kecupan ringan di tengkuk Rebbeca.

Sang empunya nama tak menggubris, ia hanya sedikit terkejut dan kembali menata bunganya, melihat Lion terabaikan, pria itu memutar tubuh Rebbeca untuk menghadap ke arahnya, "Aku benar-benar minta maaf, pekerjaanku sangat banyak." Jelas Lion berbohong, sejak kapan ia merasa sibuk bahkan sempat-sempatnya ia menguntit Prao sampai masuk ke dalam toilet wanita.

Rebbeca menatap lekat, manik teduhnya selalu berhasil menangkap kebohongannya, "Sejak kapan kakak berbohong?"

"Bukan karena wanita Dilra Prao itukan?" Pertanyaan yang berhasil membuat seorang Lion melonggarkan pelukan, ekspresi wajahnya berubah tak sehangat kedatangan nya tadi, melihat respon dari gestur tubuh Lion, Rebbeca sudah mampu mengambil kesimpulan singkat.

Rebbeca melangkah, ia mengitari meja itu dan berdiri di hadapan Lion. "Aku tahu, prioritas kakak bukan seorang Rebbeca lagi tapi wanita bernama Dilra Prao si wanita malam."

Lion masih bergeming, ia menghela beberapa kali namun tak berniat untuk membantah ucapan Rebbeca.

Merasa jika sikap Lion mulai berubah, Rebbeca merasa semakin kecewa, "Apa yang aku berikan untukmu selama ini kurang? Sampai kamu harus memperkosa wanita itu?"

"Itu karena masalahmu!" Sekali lagi sikap Lion berubah, kelembutan yang selalu ia berikan kepada Rebbeca mulai memudar, sekali bentakan berhasil membuat Rebbeca terlonjak kaget, "Cerita sebenarnya bukan seperti itu, Rebbeca." Lion tegaskan sekali lagi, perihal pemerkosaan yang berujung sebuah paksaan kenikmatan, ia akui Prao begitu menggoda libidonya, bahkan dengan sangat kurang ajar, di waktu yang tidak tepat seperti saat ini hasrat lelakinya kambuh karena hanya membayangkan.

"Semua karena rengekanmu yang mengganggu, jika kamu tak begitu. Aku tidak akan mungkin melakukan hal rendahan itu, paham kamu?" Lion menunjuk batang hidung Rebbeca, ia tak suka jika disudutkan, "Dan sampai detik ini, aku menyesal telah memperkosanya. Kamu pikir aku senang?"

Lion memijat pelipisnya, ia kehabisan kata-kata untuk hanya berdebat. Biasanya, Rebbeca selalu menjadi penyejuk di kala api membara di dalam dirinya, kini justru wanita itu yang menyundutkan api untuk membakar amarahnya, "Kedatanganku kemari hanya untuk meminta maaf bukan berdebat hal yang tidak penting seperti itu, apalagi yang kamu bahas wanita yang sama tidak ada pentingnya." Setelah mengatakannya, Lion merasa jika hatinya tiba-tiba berdenyut nyeri, sesuatu seperti tengah menyayat perasaannya, bukankah memang benar jika wanita itu tidaklah penting? Seharusnya ia takkan rugi mengucapkannya, namun tiga detik setelah ucapan itu terlontar dadanya terasa sesak luar biasa.

Rebbeca berdecih, "Tidak penting kakak bilang?" Ia mengambil langlah, "Dari segi mana yang tidak penting? Aku memiliki mata-mata untukmu." Rebbeca yakin jika setelah mengucapkan itu, Lion akan berkata jujur.

"Kamu menguntitku? Kamu gila Rebbeca!" Lion kembali dengan kegeramnya, ia mengacak puncak kepalanya dan mendesah berat. "Kamu bersikap ke kanak-kanakan sekarang."

Merasa tak terima, Rebbeca menarik lengan Lion dan ia membalas untuk menunjuk batang hidungnya. "Kamu yang memaksaku begini, jika kamu tidak memperkosa wanita itu, mana mungkin aku membangkang seperti ini."

"Itu sebuah kecelakaan, Rebbeca! Kecelakaan, aku tidak sengaja melakukannya." Lion berkelit, ia tak mungkin bersalah. "Sekarang urus saja masalah rumah tanggamu, jangan meminta bantuan kakak lagi."

"Kamu mencintai Prao kan?" Rebbeca tak terima jika apa yang ia usahakan justru memberikannya luka yang paling dalam, "Kamu menghentikan langkah sudah menjadi jawaban yang pasti untukku." Isakan kecil mulai terdengar, "Apa yang kurang dariku?" Sebari berisak, Rebbeca mulai melepaskan tali yang membelit di bagian pinggangnya, rupanya Rebbeca sudah mempersiapkan kegaduhan itu untuk berakhir menjadi sebuah dambaan kenikmatan, karena ia tahu jika Lion merasa bersalah setengah mati pria itu akan mencarinya.

Setelah kain penutup itu runtuh dari tubuh Rebbeca, ia kembali melangkah. Lion masih bergeming dalam pantulan cermin dari bingkai foto menampilkan Rebbeca dengan pakaian lingerie hitam mulai melangkah ke arahnya.

"Apa aku kurang menggairahkan untukmu?" Rebbeca menarik satu tali dibagian pundaknya, dan menanggalkannya di sembarang. Menampilkan tubuh setengah telanjang Rebbeca semakin mendekat. "Apa permainan ranjangku kurang memuaskanmu?" Ia memeluk tubuh kekar Lion dari arah belakang, sangat erat sampai Lion mampu merasakan kedua piramida milik Rebbeca yang mendesak kenyal.

Lion masih bergeming, gundah dalam hatinya mendera, di lain hal ia tak terima dituduh atas pemerkosaan itu, namun di lain sisi ia tak suka jika nama Prao itu direndahkan, "Pakai kembali, pakaianmu Rebbeca," Ucap Lion sebagai penolakan sopan untuknya, bercinta disaat keadaan kecewa bukan hal yang cukup menyenangkan.

Bukan menurut Rebbeca justru berdiri tepat di hadapan Lion, ia menyentuh dagu Lion sebari mengecup ringan disana, Rebbeca yakin Lion takkan nampu menolak sentuhan penuh dambaan miliknya, "Aku menginginkanmu, Lion." Suara desahan itu ia lontarkan tepat di daun telinga Lion, sebari berjinjit Rebbeca kembali mengecup beberapa kali area leher Lion memaksa pria itu untuk memejamkan kedua maniknya, sensasi yang sedikit menggoyahkan pertahanan nya, Lion memang kesulitan untuk menolak sentuhan Rebbeca, wanita satu ini memang ahli dalam bidang rayu-merayu.

"Kita lupakan masalah ini, untuk saat ini. Aku milikmu." Begitulah cara main Rebbeca, Lion tak bisa hanya berdiam ketika tubuh sensitifnya terus di desak untuk beraksi, Rebbeca tahu hanya dengan berhubungan seks masalahnya akan selesai meski tak memiliki jalan keluar yang memuaskan, namun hasratnya harus tersalurkan, bukankah Lion sudah sangat harus bertanggung jawab atas kekecewaannya selama berada di Indonesia?

Lion menarik kedua bahu Rebbeca, "Tidak untuk kali ini, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa," imbuhnya dengan segera memalingkan wajah, ia tak suka melihat tubuh setengah telanjang Rebbeca kali ini, keganjalan dalam hatinya benar-benar mengganggu semua pikirannya bahkan untuk pertama kali dalam sejarah seks, ia menolak ajakan bercinta Rebbeca, sungguh merugi bukan.

SALAH MASUKOn viuen les histories. Descobreix ara