53.Kebodohan

29 2 1
                                    

Deruan napas mereka sama tenang dibalik dinginnya malam yang membawa kedamaian lewat bisikan yang memerintahkan hati untuk damai, menikmati segala yang telah diciptakan dengan keindahan,keselarasan dan kesempurnaan jika semua dihargai dan dinikmati dengan baik.

Bentangan langit pekat yang menemani malam tetap cerah meski tak mampu menyaingi sinar mentari,namun malam tetap menjanjikan kedamaian bagi mereka yang menyukai sunyi dengan segala kesejukan yang dibawanya.Sunyi bukanlah hal yang beberapa orang sukai akan tetapi ada kalanya semua membutuhkan sunyi untuk merenung atau setidaknya menenangkan diri yang selalu merasa lelah pada saatnya.Dimana ketenangan yang sesungguhnya hanya suatu hal kecil dengan hembusan napas yang dapat terdengar karena keheningan yang diharapkan.

Meski begitu adanya,namun tampaknya semua itu kini tak lagi ada untuk dirinya yang tengah menikmati tawa,segala emosi tertuang menjadi bahagia yang semestinya ia milikki sejak dulu atau setidaknya ia rasakan.Berada dalam lingkup sepi namun dengan segala teriakan,membuatnya membeci sepi namun membutuhkan keheningan.Hal itu menjadi satu namun dengan arti yang berbeda,hanya mereka yang menaruh hati serta melihat dengan perasaan yang akan mengerti.

Kini ia berada dalam tahap dimana dirinya baru mulai mengenal apa yang dimaksud dengan penenang,tentu saja ini berbeda dengan apa yang ia pikirkan dulu.Semua harus terajut meski untaian benang sangat kusut,tak mudah untuk menemukan bahagia,oleh karena itu setidaknya ia ingin belajar bagaimana cara menikmati kebahagiaan dengan berjuta pemikiran yang mengantarkan kata ikhlas.

Manusia memang tidak mengerti apa itu syukur.Tuhan telah memberikan kebahagiaan meski lewat hal kecil,namun mereka lupa bersyukur bahkan tak menyadari apa yang seharusnya menjadi bahagia.Terlalu serakah hingga lupa apa itu penenang,mereka hanya menikmati namun selalu bertanya 'apa itu bahagia?', namun ketika Tuhan memberikan ujian mereka baru menyadari jika Tuhan benar benar memberikan segalanya walau ternyata mereka hanya menganggap jika Tuhan hanya memberi penderitaan,ketidakadilan, dan semua yang membuat mereka terpuruk.Pantaskah seperti itu?

Rasanya ia hanya pintar berbicara karena pada dasarnya dirinyalah yang mempunyai segala pemikiran itu.Terlalu berpikiran sempit hingga semua derita menjadi kesalahan yang mendasari Tuhan.

Senyumnya tanpa sadar terlukis diwajah salju yang mengerjap itu,helaian rambut yang menutupi pandangan ia abaikan.
Mengingat yang telah terjadi membuatnya berpikir jika berarti dirinya telah dewasa.
Entah dewasa yang sesungguhnya atau dewasa karena paksa dari keadaan.Jelasnya dirinya harus menjadi seseorang yang mampu berpikir dengan matang sebelum bertindak dan mampu memahami apa yang terjadi tanpa mengambil pemikiran sendiri.

Manik kelamnya melihat pada perempuan yang tengah menatap luasnya langit,tampak kedua mata cokelat itu tengah mengumpulkan kekuatan untuk melupakan apa yang telah terjadi.

Mereka tengah menyandar pada pagar pembatas jembatan yang tengah sepi,meski senja telah pergi dan digantikan dengan hitamnnya langit namun mereka enggan beranjak,keduanya tengah mencari ketenangan meski dengannya pun telah ia rasakan hangat,namun ini bukan tentang rasa suka–melainkan suatu keterpurukan.

"Terkadang pikiran selalu mengatakan jika kematian lebih baik,namun hati menguatkan jika mati itu menakutkan."

Perempuan yang tengah mendongak itu menurunkan pandangannya pada Sunghoon yang baru saja memecah hening.
''Aku juga pernah,namun setelah kupikir kembali,begitu banyak hal yang belum kuketahui dan kucoba,jadi jangan siakan hidup hanya untuk mati."

Sunghoon mengembuskan napasnya sembari tersenyum kecil,ia menunduk dan melihat kedua kaki yang menahan tubuhnya untuk bersandar.

Realizing of love // Park Sunghoon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang