15.Dibalik Resah

51 23 8
                                    

Kedua sorot kelam itu terus menatap tidak suka dan ingin cepat menyudahi pembicaraan yang sepertinya sudah sangat lama mereka pikirkan atau bahkan tanpa pertimbangan.

Kedua tangannya saling menggenggam–bergerak tak nyaman dalam duduk tenangnya sejak satu jam yang lalu.

Semuanya benar benar membuat telinga pengang dan mata yang seakan memanas menahan rasa ingin menolak yang sangat kuat ingin terlepas dari bibir tipis yang sejak tadi terkatup rapat.

Sudah sangat terbaca situasi yang seolah telah lama terencana dan seakan sangat tepat dalam segala kehidupan yang membisu dalam seribu kata.

Sangat yakin jika pembicaraan ini berujung penegasan yang awalnya basa basi yang memuakkan.

Kini tatapannya teralihkan kepada sang pembicara yang menatapnya–menunggu jawaban.

" Kau tidak menolak bukan? "

Sungguh rasanya ingin tertawa lantang dihadapan wajah mereka yang seakan memberinya kesempatan untuk setidaknya memikirkan dalam beberapa waktu.

Namun nyatanya semua sangat jelas dapat terbaca dalam situasi apapun.

Sunghoon–pemuda yang duduk dihadapan keduanya hanya terdiam dengan wajah yang tak menampakkan keniatan menolak maupun menerima.

Pria itu akan menduga bahwa respon yang seperti itulah yang diharapkan mereka karena dengan itu keduanya dapat menyimpulkan dengan mudah tanpa perdebatan.

Sebenarnya jika berbicara tentang perdebatan,Sunghoon sudah sering adu argumen dengan mereka namun lagi lagi ia hanyalah seseorang yang berdiri dengan uluran tangan mereka , jadi bisa disimpulkan apa akhirnya.

"  Tidak perlu berfikir,ingat ini Tingkat Internasional ." Giliran wanita dengan pakaian hitamnya itu yang membuka suara seolah membujuk dengan mengatakan hal yang sungguh sangat menganggap ia anak kecil.

Sunghoon tahu bukan kesempatan yang banyak bisa menunjukkan bakatnya dalam ajang Internasional.

Jika biasanya Sunghoon hanya melakukan di dalam negeri maka sekarang tawaran yang dibacarakan sejak tadi adalah suatu kompetisi yang diselenggarakan dinegeri seberang.

" Juga katanya kau rindu Jepang bukan? "
Sedikit–merindukan namun jika teringat akan licinnya es semangat dan gairahnya tiba tiba saja lenyap.

Sekarang sang kepala keluarga bangkit,lalu sedikit menghela napas guna menetralkan suasana dan sebisa mungkin mengambil perhatian anak laki lakinya itu.

" Besok temui manager Kim dan bicarakan tentang persetujuanmu."

Sunghoon diam tak bergeming.
Menganggukpun tak ia lakukan,intinya ia hanya diam bahkan tak melihat Ayahnya yang sekarang tengah memandang menunggu jawaban.






Ketukan pintu mengentikan jari jarinya yang menggenggam pena berhenti menari diatas kertas.

Segera melepas earphone putihnya lalu dengan cekatan memakai alas kaki dan berjalan dengan terseret karena sandal yang belum terpasang sempurna.

Wajah teduh dengan senyum merekah lah yang pertama kali mata cokelatnya tangkap saat membuka pintu yang terketuk tadi.

" Turun Nak."

Ji-Han segera mengikuti langkah wanita yang kini tampak rapi dengan piyama tidur dan rambut yang tersanggul sederhana itu.

" Mama kapan pulang? "

Suara kursi kayu yang terseret karena tarikan terdengar memenuhi ruang yang hanya diisi dengan dua orang itu.

" Tadi sebelum petang , bibi mengantar."
Perempuan dengan piyama putih itu mengangguk samar sembari melengkungkan sebuah senyuman tanda mengerti.

Realizing of love // Park Sunghoon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang