"Cepat pulang, banyak tugas yang harus kamu selesaikan sama Tentor kamu. Jangan buang-buang waktu di sini!" Sabita berdiri, melepaskan genggaman Raga di tangannya.

"Mah, Raga baru aja siuman--"

"Kamu udah buang waktu enam jam di sini, mau apa lagi hah?!"

"Tante, tapi Aga butuh istirahat." Manda menyela diikuti senyuman khasnya.

"Istirahat selama enam jam itu sudah lebih dari cukup, beberes sekarang juga Mama tunggu di kafetaria!" Sabita keluar dari ruang IGD.

"Tante, ngopi sama Manda dulu dong!" Manda mengejar Sabita, menempelinya bak penjilat kelas teri.

Senyum penuh luka terukir di bibir Raga. Dia pikir, Mamanya datang karena peduli padanya. Ternyata hanya karena takut harta paling berharganya pergi.

Di mata Mama, gue emang cuma alat buat menuhi semua ambisinya! Pikir Raga miris.

Dean mendekati brankar Raga tepat setelah Sabita dan Manda keluar. "Mau balik?"

"Seragam gue dimana?" tanya Raga tanpa berniat menjawab pertanyaan Dean barusan.

"Ga ada."

"Maksud lo? Ya kalik gue ke sini ga pake baju? Gue nggak bisa keluar pakai baju pasien kayak gini."

"Adanya kolor, mau?" Dean menyodorkan kolor hitam milik Raga yang sudah kering.

"Fuck! Jangan main-main, Yan!"

"Ga main main."

"Jadi maksud lo, gue ke sini cuma pakai kolor doang gitu?" Raga menunjuk kolor di tangan Dean dengan ekspresi tertekan.

"Maaf, tapi iya."

"HAH?!" Raga menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya hingga menyisakan bagian wajah. "Sumpah lo?! Demi apa?!"

"Basah lagi."

"Demi?!" sentak Raga. "Kok bisa?! Siapa aja yang liat?!"

"Banyak banget," Dean menghitung menggunakan jari dengan bibir komat kamit. "Banyak pokoknya."

"Shit! Peler gue!" Raga sujud di atas brankar dengan kedua tangan menahan selimut yang melingkar di kepalanya.

Raga mengambil kolor miliknya, kemudian turun dari brankar. Cowok itu membuka gorden sekat pembatas brankar sisi kanan dan melihat Sea yang sedang duduk di brankar sambil memainkan ponsel.

Bibir Raga ternganga kecil, sementara Sea terlihat biasa saja di jarak dua brankar kosong dari tempat Raga dirawat.

Sea mengerjapkan mata polos, tatapannya tidak terdeteksi. Sedangkan Raga terlihat malu, karena ada kemungkinan besar Sea sudah mendengar semuanya dari awal.

"Freak, kenapa dia ada di sini?" tanya Raga berbisik pada Dean. "Kenapa juga gue bisa sebelahan sama dia, mana satu ruangan lagi."

"Lo ngga inget?"

"Apaan?"

"Lo gendong dia--"

"Ke sini? Pake kolor doang?"

"Ralat, kolor basah."

"Berhenti!" sentak Raga menghentikan Dean. "Itu, itu bukan gue!"

Raga menutup telinganya. "Gue ngga mau tau lagi! Nolongin dia?! Gendong dia?! Gue ga pernah lakuin itu!"

Raga beranjak pergi, tetapi terhenti karena mendengar Sea bersiul. Raga menoleh ke arah Sea, lalu Sea akan menatap barang Raga beberapa detik, kemudian beralih menatap wajah Raga beserta senyum anehnya.

Sea seakan-akan sedang mengejek Raga, melihat kolor hitam dengan gambar Squidward pargoy membuatnya ingin tertawa. "Luarnya doang sangar, dalemnya--"

"Diem lo!" Raga menyembunyikan kolornya di belakang tubuh.

Raga berbalik pergi, dan saat itu juga ia berpapasan dengan sekretaris mamanya yang membawakan piyama squidward Raga. "Bajunya--"

"Shit! Kenapa malah bawain yang ini?!" Raga segera mengamankan piyama dengan gambar lukisan squidward orange di tangan sekretaris mamanya.

"Maaf, saya tidak tahu selera Anda. Di mobil Bu Sabita hanya ada piyama squidward orange, kaos squidward hitam, dan--"

"Cukup!" Cowok galak itu kembali mengonggong. "Gak perlu dijelasin lagi!"

"Ch, Dasar Bocah Squidward!" gumam Sea dengan tangan berada di dalam kantung baju pasien.

Selepas Raga pergi, Dean mendekati Sea. "Tagihan rumah sakitnya udah gue bayar, lo bisa pulang besok, istirahat dulu aja di sini."

"Iya." Sea memang masih cuek, tetapi tidak seketus sebelumnya.

"Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu bilang aja ke gue."

"Hm," timpal Sea tanpa membuka bibirnya.

"Gue pulang dulu."

"Ya."

Dean pergi, lalu beberapa detik kemudian Sea bersuara. "Dean!"

Dean menoleh, seakan-akan mengatakan 'Apa?' melalui ekspresi wajah dinginnya.

"Ma, makasih," kata Sea cepat.

"Apa? Yang jelas kalau ngomong!"

Hish, Sea tau jika Dean mendengarnya, tetapi cowok itu malah berpura-pura tidak mendengar ucapan terimakasih Sea.

"Ga jadi!" Sea merubah posisinya menjadi tidur di brankar dan memunggungi Dean sambil menenggelamkan diri di dalam selimut tipis.

Sikap Sea yang cukup sulit mengatakan terimakasih kepada orang lain itu mampu mengundang senyum di bibir Dean.

"Sama-sama," kata Dean kemudian.

Tuh kan, dia denger! Pikir Sea memilih mengabaikan Dean. Setelah memastikan Dean pergi dari IGD, Sea langsung beranjak duduk, ia sedikit mendecak, lalu memilih membeli minum di kafetaria rumah sakit.

"Ice tea ukuran sedang," Sea berdiri di depan meja panjang tempat membeli minuman.

Dalam radius tiga meter di sebelah kanan, Sea melihat Manda dan seorang wanita yang tampak begitu akrab.

Berkali-kali Manda tertawa dan menepuk lengan sang wanita, lalu wanita itu akan mengusap-usap lengannya seolah tangan Manda penuh dengan virus menular.

Sea memicingkan matanya, melihat tingkah Manda membuat matanya sakit. Sea muak sendiri, bisa-bisanya ia bersikap seperti itu.

"Ice tea satu," kata Mas Mas penjaga kasir sambil menyodorkan pesanan Sea.

Sea menerima pesanannya dan segera pergi, namun langkah gadis itu terhenti ketika melihat Raga berjalan mendekati dua orang tadi dengan piyama squidward.

"Jadi, dia mamanya Raga?"

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari.

Ada yang nunggu next?

2k komen ya, nanti aku update lagi 💗
Jangan cepet-cepet heh, mau nyantai beneran dulu. Ya kali tiap hari double up, dua hari sekali gitu loh. 😹

Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.

RAGASEA (END)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ