HILANGNYA API 3

19 2 0
                                    

Tanah dipenuhi akar pohon dan sulur berduri. Bergerak berusaha menangkap apa saja yang ada di sekitarnya. Pukul empat pagi, terlihat tanda-tanda datangnya matahari dari sudut Timur zona tiga. Langit masih saja terlihat suram, namun salju turun tidak selebat sebelumnya.

Burung es dari Niflheim diremas habis oleh sulur berduri, bulu putihnya berhamburan di beberapa tempat lalu diterbangkan angin ke segala penjuru. Pasukan troll saju dan monster es abadinya musnah terjerat akar dan sulur berduri. Burung es itu berusaha melepaskan diri dari jeratan sulur beracun. Lyra beberapa kali mentransformasikan tubuhnya berharap lilitannya longgar ketika ia merubah bentuknya. Namun semua usahanya sia-sia. Sulur itu menjerat menyesuaikan bentuk tubuh mangsanya. Lyra berteriak nyaring dengan bentuk burung esnya, ia mematuk sulur-sulur yang menjerati tubuh dengan paksa. Paruhnya berdarah, tapi Lyra masih saja mematuk sulur-sulur itu dengan membabi buta. Ia tidak peduli dengan paruhnya yang berdarah, ia hanya ingin lepas dari jeratan sulur Lutifia.

Lepas...
Lepas...
Sakit sekali, sakit sekali...

Lyra merasakan pangkal lidahnya yang robek tertusuk duri. Rasa sakit kian menjadi kala racunnya menyebar, seperti ada sesuatu yang menggerogoti tubuhnya dari dalam. Bahkan burung es itu sanggup merelakan bagian tubuhnya demi lepas dari jeratan sulur Lutifia. Rasa sakit itu seakan mengatakan penderitaanya akan berakhir jika ia mengorbankan kaki ataupun lengannya. Lyra merapalkan sihir esnya kembali, membentuknya menyerupai pedang pipih kecil lalu melepaskan mantra itu ke dirinya sendiri. Pedang es pipih itu menari mengerumuni tubuh Lyra, benar jeratan sulurnya mulai melonggar, namun pedang itu juga menyayat tubuh sang pemilik mantra. Hingga akhirnya burung es dari Dimensi Bawah itu bisa lepas dari sulur yang menjeratnya. Tubuhnya penuh luka, kemudian ia terbang menjauh dari zona tiga dan hilang entah ke mana.

Di sisi lain, Gate menyusul Anger yang berlari kencang dengan sekuat tenaga. Sulur muncul tiada henti, pria itu berlari dengan menghunuskan pedangnya pada sulur yang berusaha meraih dirinya. Seketika pula kakak tertua Samer itu menarik kerah baju Anger dari belakang. Gate melayangkan tinjunya pada Anger. Dengan napas yang terenggah dan keringat bercucuran, Gate mengulangi tindakannya.

"Kau sudah tidak waras!" Tangan Gate masih membuat ancang-ancang utntuk memukul lagi.

Anger yang tidak terima dengan perlakuan Gate, membalas pukulan Gate. Maka keduanya saling melayangkan tinju satu sama lain. "Kau yang tidak waras! Dasar orang tua gila!"

"Berani-beraninya kau menyebut dirimu Kaisar setelah membuat susah semua orang!"

Anger terdiam, ia tidak membalas pukulan Gate lagi. Setelah mendengar perkataan Gate, pria beriris biru laut itu bergeming sambil menerima pukulan Gate.

"Kehilangan akal setelah seorang gadis kecil bersuarai hitam lenyap dari pandangan beberapa jam yang lalu!  Hanya beberapa jam yang lalu?!" lanjut Gate.

Pria yang terlihat seperti baru berumur dua puluh lima tahun di depannya menghela napas dengan kasar. Anger mengerti mengapa Gate melayangkan tinjunya, menilik kembali dirinya yang putus asa kehilangan jejak Lutifia. Kaisar baru Amsta itu lupa dengan kewajibannya sebagai Kaisar. Di situasi yang kacau balau itu seharusnya ia berusaha meningkatkan moral para warganya terhkusus prajurit yang sedang berada di garis depan. Bukan malah mementingkan urusan pribadinya. Memang benar ia sangat terkejut dengan hilangnya Lutifia, namun negaranya juga membutuhkan seorang pemimpin, pusat dari segala komando. Maka tindakannya barusan memang pantas mendapat pukulan dari Gate.

"Maaf," ucap Anger setelah Gate selesai dengan tinjunya.

"Kau sudah sadar sekarang? Jika kau terkena sulur itu, kau akan mati!" Gate menatap kedua manik biru Anger.

"Itu bagus jika masalah selesai dengan kau mati, tapi bukan itu, masalah mulai muncul dengan kematianmu! Kau tau betapa frustasinya Nyonya Clara? Ia bersusah payah ke sini setelah mengendalikan keadaan di istana Crastin! Kau mau membebankan semua tanggung jawabmu pada wanita itu setelah kau tiada, begitu? Dengan begitu kau bukan hanya kehilangan Tifa, tapi kau juga kehilangan seluruh wargamu yang cepat atau lambat diinvasi oleh Negara Xing. Kau mau itu terjadi? Hah?! Kau tahu betapa pentingnya figur seorang Kaisar?!" lanjutnya.

Anger menunduk. "Maafkan aku, Gate. Aku tidak akan kehilangan akal lagi. Bisakah kita ke tempat Nyonya Clara?"

Gate mengangguk mengiyakan. Kemudian keduanya berlari menuju tempat Clara berada. Clara membawa Anger menuju pohon penyembuh sebab sulur tanaman tidak terlalu banyak yang tumbuh di area pohon penyembuh. Di sana pula semua orang berkumpul. Tiap pimpinan pleton menghadap Anger dan Clara. Anger mengisyaratkan pasukan untuk mundur ke tempat yang lebih aman, meninjau lenyapnya seluruh pasukan Lyra. Masalah utama mereka adalah sulur beracun yang memenuhi hampir seluruh zona tiga bagian Timur.

Anger menatap butiran salju yang turun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekhawatiran pada Lutifia dan kelima temannya. Bahkan tidak ada satu pun dari keenam orang itu yang terlihat batang hidungnya. ia dikagetkan dengan sebuah tangan yang menggantung di pundaknya. Ia tersenyum pada pemilik tangan tersebut. "Tifa dan yang lainnya, baik-baik saja, kan?"

Gate mengulas gerakan lengkungan di bibirnya. "Pastinya."

Anger dan Gate tahu sulur yang tumbuh di depan matanya itu adalah sihir dari Lutifia. Tidak mungkin Lutifia menenggelamkan zona tiga dalam hutan sulur beracun, kecuali terjadi sesuatu pada gadis itu. Tetap saja kedua pria itu saling menipu diri masing-masing dengam berkata demikian, setidaknya pemikiran seperti itu memberikan harapan getir pada Anger dan Gate.

*****

Susi menyetrum sulur yang menegerumuninya sampai hangus.
Pistolnya tidak berguna pada tanaman berduri itu. Ia mengeluarkan petir besar melalui pangkal tangannya, membuat area dua meter di dekatnya menjadi medan listrik bertegangan tinggi. Beberapa meter di belakang Susi,  Daya membuat tembok besar dari tanah untuk melindungi satu pleton pasukan penjaga kota dari sulur tanaman. Daya segera menyadari keberadaan racun pada duri tanaman rambat tersebut, berkat pengetahuannya yang ia pelajari dari Diaz. Tumbuhan yang mempunyai duri beracun, durinya akan terlihat kehitaman atau merah di ujung.

Susi melirik sebuah pohon besar bertaburkan salju hijau menyala. "Daya! Area dekat pohon penyembuh tidak ditumbuhi sulur. Bisakah kau giring mereka ke sana?"

Daya mengangguk. Ia membuat dinding-dinding tanah menyerupai lorong yang ada atapnya. Area di sebelah kanan dan kiri lorong tanahnya bergetar lalu retak, seketika pula membentuk cekungan tanah dan sulur-sulur tersebut jatuh berserakan di dalamnya. Daya mengangkat tanah lain yang lebih besar, menghantamkannya pada cekungan tanah yang dipenuhi sulur. Cekungan itu tertutup rapat seakan tidak pernah ada sulur di sana. Lorong yang Daya buat langsung menuju tempat pohon penyembuh. Sehingga akan aman jika orang-orang tersebut melewatinya.

"Kalian! Masuk lorong sekarang!" seru Daya pada seluruh pasukan pleton itu. Tangannya masih mengudara mempertahankan sihirnya.

Tak ada satu pun dari pasukan itu yang bergerak memasuki lorong, mata mereka menampakkan kekhawatiran. Lorong itu berbentuk kubah yang di dalamnya gelap gulita. Daya berdecak kesal, ia tidak tahu kapan sulur itu akan tumbuh kembali dan sihirnya tidak bertahan selamanya. Daya masih menekan semua sulur yang akan tumbuh di dalam tanah. Menghujamnya dengan hentakan-hentakan tanah dari dalam. Sebab itu pula tanah yang mereka pijaki sedikit bergetar.

"Rupanya kalian lebih memilih mati di sini." Susi menggeratkan giginya. "Tak perlu takut! Lorong itu mengarah ke pohon penyembuh, di sana tidak ada sulur beracun," lanjutnya.

"Kami tidak bisa terus melindungi kalian. Kami juga tidak tahu kapan energi bintang kami habis, ini sudah berkurang setengahnya. Segeralah masuk, sebelum sulur itu tumbuh lagi." Walaupun sangat kesal, Daya masih bisa mengendalikan kekesalannya. Dari pada membuat mereka semakin panik, Daya lebih memilih untuk memperlihatkan sikap tenangnya.

Seseorang mulai melangkahkan kakinya memasuki lorong, disusul lainnya. Segera setelah mereka sampai tempat tujuan, Daya menurunkan tangannya. Seketika sulur itu tumbuh kembali mengoyak lorong yang semula berdiri kokoh.

"Da, sulur ini sangat ganjil." Susi masih pada medan listriknya.

"Aku juga berpikir demikian, Sus. Aku yakin ini sihir Tifa." Daya tiada henti memunculkan tembok tinggi.

"Ada yang tidak beres! Kita harus menemukan Tifa."

Kedua gadis itu pergi mengitari hutan sulur berduri. Susi berjalan di depan sedangkan Daya di belakang. Sulur itu seketika hangus dengan hanya berdekatan dengan Susi, Daya hanya berjalan di belakang sambil berjaga kalau-kalau ada sulur yang lolos dari listrik Susi. Sungguh formasi bertahan yang sempurna.


NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & Lutifia's FootWhere stories live. Discover now