"Lah emang iyaaa, tahun depan gue tunangan sama Veron."

"Mau ngomong kasar, KASAAAARRRR!"

Sea hanya tertawa melihat interaksi keduanya, persahabatan yang begitu erat, tanpa pujian palsu, dan tanpa senyum dengan niat terselubung.

Rasanya aneh, baru kali ini Sea mendapatkan teman yang benar-benar se-pure itu. Meski sedikit canggung karena belum terlalu lama mengenal mereka, tetapi rasa nyaman itu semakin ada.

"Supir Hyuna udah dateng!" Kelly berlari memasuki mobil Hyuna.

Gadis itu membuka kaca pintu dan mengibaskan tangan di udara. "Buruan naik!"

"Lo udah kayak yang punya aja!"

"Gue nggak ikutan ya," Sea urung memasuki mobil Hyuna, sebenarnya memang sejak awal ia tidak berminat.

"Loh, lo nggak mau beli baju?"

"Gak, gue udah ada baju."

"Yaudah, gue duluan ya!" Kelly melambaikan tangan ketika Hyuna memasuki mobil dan duduk di sampingnya.

Sea tersenyum dan membalas lambaian Kelly, gadis itu berjalan mundur, kemudian berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan.

***

Malam ini, Raga duduk di salah satu ruang private restoran ternama bersama sang Mama. Hanya dentingan garpu dan pisau dengan piring yang mengisi kekosongan mereka, terlalu sunyi.

"Kerjanya," buka Raga lembut, netranya bergerak naik menatap wajah Bita. "Gimana, Mah?"

Sabita mengusap bibirnya menggunakan tissue. "Harusnya Mama yang nanya, sekolah kamu gimana?"

Tidak lembut, tetapi tidak keras juga. Sabita hanya bersikap tegas, seperti biasa.

Raga menelan sisa steak di mulutnya, lantas menjawab, "Baik, Mah. Kayak biasa."

"Bimbel kamu lancar, 'kan?"

Raga mengangguk, hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Cowok itu terus mengamati Sabita yang sepertinya hendak pergi lagi, padahal mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu.

"Mah, udah mau pergi?" tanya Raga. Sebenarnya ia sudah tahu jawaban Mama, tetapi ia hanya ingin memastikan, atau setidaknya dapat membuat Mamanya duduk di dekatnya lebih lama lagi.

"Jangan manja," Sabita menenteng tasnya, lalu berdiri dengan gerakan anggun.

"Mah, baru sebentar loh." Raga ikut berdiri menghadap Mamanya. "Raga kangen."

Sabita tersenyum tipis, tangannya bergerak membelai pipi Raga. "Kamu itu anggota keluarga Mama yang paling berharga, jadi kamu harus sempurna melebihi apapun. Paham, 'kan?"

"Mah--"

"Olimpiade bulan depan nanti, kamu harus jadi juara pertama. Cuma itu yang Mama mau," Sabita memegang pundak Raga. "Bisa, 'kan?"

Raga mengusap tangan Mamanya sambil tersenyum simpul. "Iya, Mah."

"Malam ini tutor kamu nginep, jadi kamu bisa belajar sampai subuh."

Raga melebarkan senyumnya, tetapi ujung bibirnya sedikit bergetar. Tujuh belas tahun, selama tujuh belas tahun kehidupan Raga ada di tangan Mama.

"Raga," panggil Sabita.

Raga.. ia benar-benar benci nama itu.

"Mama akan pastikan kamu jadi Raga yang paling sempurna di dunia." Sabita membenarkan posisi jaket kulit Raga yang sebenarnya tidak berubah, ia juga mengusap debu tak kasat mata di bagian dada atas.

"...kayak Papa kamu," sambungnya menatap Raga intens. "Jadi, jangan pernah ngecewain Mama."

"Bisa, 'kan?" tegas Sabita sekali lagi.

Raga hanya membisu, karena pada kenyataannya ia tidak percaya pada dirinya sendiri. Belajar, ah tidak, dituntut sempurna dalam segala aspek terkadang membuatnya merasa sangat tertekan.

"Jawab, Raga!" Sabita meninggikan intonasi bicaranya.

"Iya, Mah. Raga bakalan usahain."

"Usahain?! Kamu ragu sama diri kamu sendiri?!" Ada amarah terselip di setiap nada yang Sabita keluarkan, Raga sadar akan itu.

Karenanya, Raga berusaha membusungkan dadanya percaya diri di depan sang Mama. "Raga bakalan raih juara pertama, Raga janji."

Sabita mengangguk. "Pria sejati harus selalu menepati janjinya."

"Raga nggak akan bikin Mama kecewa."

"Mama pegang janji kamu."

Sabita berlalu pergi bersama sekretarisnya, langkah wanita bersetelan satin hitam itu begitu tergesa-gesa, bahkan untuk menoleh menatap Raga saja tak ia lakukan. Sedingin itu.

Sementara Raga, cowok itu masih bergeming di tempatnya berdiri, menatap punggung Sabita hingga ia benar-benar tenggelam di balik dinding restoran.

Raga menghela napas pelan, mencoba memaklumi ambisi Mamanya yang begitu melejit. Wajar saja, semenjak Papanya meninggal, Mama harus mengurus PNeVille dan Raga yang saat itu masih kecil.

Raga tahu, sangat tahu jika perjuangan Mama mempertahankan Perusahaan Farmasi Terbesar se Asia itu tidaklah mudah. Ia tidak pernah memiliki waktu di rumah, sangat jarang mengobrol dengan putra sematawayangnya, dan terus mengejar kesibukannya sendiri.

Tetapi, Raga juga ingin seperti orang lain. Mengobrol tanpa tekanan akan peringkat, bertemu kapan saja saat ia merindukannya, dan makan bersama di rumah seperti keluarga lain.

Namun, semua itu hanyalah angan-angan belaka. Selama lima tahun ke belakang, frekuensi Mama makan di rumah bersamanya hanya sebanyak tiga kali. Itu pun hanya sesaat.

Sejak kecil, Raga tidak tahu bagaimana hangatnya keluarga, bagaimana nyamannya rumah, dan bagaimana rasanya hidup tanpa tekanan yang terus mendesaknya untuk sempurna.

Meski terlihat keras dari luar, sebenarnya ia rapuh secara perlahan. Meski sikapnya brutal dan arogan, sebenarnya Raga hanya ingin melindungi diri sendiri.

Karena menjadi sempurna, itu artinya ia harus menjadi berani dan disegani oleh semua orang.

"Raga nggak akan ngecewain Mama," gumam Raga. "Raga bakalan turuti semua kemauan Mama, dan setelah itu Raga bakalan pergi."

Balas dendam terbaik adalah, membuatnya sangat bahagia, lalu menghancurkan kebahagiaan itu dalam waktu yang bersamaan.

TBC.

Eh, Raga mau kemana?

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.

Jangan lupa follow akunku, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
ILYSM Boo

RAGASEA (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن