Untungnya tingkat kemalasanku hanya sebatas tumpukan pakaian kotor dan kamar berantakan oleh barang yang tidak pada tempatnya, tanpa sisa makanan yang belum kubuang atau cucian piring kotor. Aku pemalas, tapi tetap tidak tahan dengan bau-bau tak sedap dari sampah. Jadi aku rutin membuang sisa makanan dan mencuci piring tiap selesai makan.

Membersihkan kamar kos kecil itu saja, ditambah mencuci pakaian, cukup menguras tenaga dan menghabiskan waktu sampai setengah hari. Saat merebahkan badan di kasur yang spreinya baru kuganti, aku melihat jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu siang.

Aku tengah berpikir ingin makan siang apa, ketika pintu kamarku diketuk. Memaksakan diri bangun, aku berjalan ke pintu dan membukanya. Rara, penghuni kamar sebelahku, muncul di depanku dengan senyum berlesung pipinya.

“Sibuk nggak?” tanyanya langsung.

“Nggak sih. Kenapa?” aku balas bertanya.

“Temenin gue yuk...”

Aku mengerjap. Bukan apa-apa, aku baru tinggal di sini setengah tahun dan hubunganku dengan anak-anak kos tidak sedekat itu. Sekadar tahu nama, nomor telepon yang bisa dihubungi, dan saling sapa seadanya. Grup chat pun hanya berisi pengumuman tentang kos. Iuran listrik, wifi, sampai teguran induk semang untuk yang telat bayar sewa.

Mungkin dengan Rara bisa kuanggap sedikit dekat, karena kamar kami sebelahan dan berbagi balkon untuk menjemur pakaian.

“Ke mana?” tanyaku, akhirnya.

“Cari kemeja. Gue ada panggilan interview besok. Baru sadar kemeja putih gue cuma satu buat ospek dulu banget. Udah kekecilan. Nggak enak banget keliling mall sendirian.” Dia meraih tanganku. “Temenin ya? Please? Ntar gue traktir.”

“Emang harus kemeja putih ya? Nggak yang penting rapi gitu?”

“Di emailnya sih dibilang langsung atasan kemeja putih, bawahan celana atau rok hitam, gitu. Gue nurut ajalah. Baru ini akhirnya gue bisa sampai tahap interview. Kemarin-kemarin CV gue aja nggak lolos.”

Aku sebenarnya ingin menawarkan kalau aku punya beberapa kemeja putih yang jarang kupakai. Tapi, karena enggan membuatnya berpikir aku terlalu malas menemaninya, akhirnya aku mengurungkan niat itu.

“Ya udah. Sekarang?”

“Kalau lo udah nggak ada kerjaan, sekarang boleh. Kalau sorean nanti takutnya kita pulang kemaleman. Interview gue jam delapan pagi.”

“Oke, gue siap-siap sekarang deh.”

Rara langsung memelukku, terlihat lega. “Thank you!” ucapnya. “Gue juga siap-siap, ntar ketemu di garasi ya?”

Aku mengacungkan jempolku, sementara Rara melambai semangat sebelum kembali ke kamarnya. Aku menutup pintu kamar, menghela napas seraya menatap lemari pakaianku.

Kehidupan sosialku buruk. Saking buruknya, aku hampir tidak pernah punya circle. Satu-satunya orang yang betah bergaul denganku hanya Vino. Dan dia tidak pernah membuatku pusing memikirkan mau pakai baju apa tiap kali kami jalan berdua. Rara memang tidak berkata soal pakaian. Aku juga tidak sebodoh itu sampai tidak tahu pakaian untuk jalan ke mall. Hanya saja. aku sedikit trauma dengan ungkapan ‘baju santai’  dan semacamnya.

Saat masih kuliah di tahun pertama, teman-teman yang satu angkatan denganku sering mengajak jalan, kumpul-kumpul. Mereka selalu berkata, “Baju santai ajalah,” dan aku selalu menurutinya. Tapi, pada kenyataannya pakaian mereka tidak masuk kategori ‘santai’ menurutku. Entah standar ‘santai’ku yang terlalu rendah, atau pakaian paling santai yang mereka miliki termasuk kategori tidak santai bagiku. Jadilah aku sering menjadi korban salah kostum, membuat rasa percaya diriku yang tidak terlalu tinggi, jadi semakin minus.

Aku tahu itu bukan alasan utama mengapa aku tidak punya teman dekat, tapi sepertinya jadi salah satu faktor penentu. Setelah beberapa kali terjadi insiden salah kostum, ditambah obrolan yang tidak terlalu sejalan, ajakan hang out untukku makin jarang, hingga menghilang sepenuhnya.

Ini akan jadi acara hang out pertamaku sejak lulus kuliah setahun yang lalu, selain dengan Vino atau Ashan. Aku gugup, jujur saja. Padahal ini bukan pesta. Hanya menemani teman kos mencari pakaian. Tidak seharusnya aku gugup seolah akan melakukan kencan buta.

Perlahan, aku membuka pintu lemari, menatap pakaian yang tergantung dan terlipat di sana. Tidak ada yang istimewa dari koleksi pakaianku. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali membeli pakaian. Selama menurutku masih layak, aku akan memakainya berulang kali. Yang rutin kuganti hanyalah pakaian dalam, walaupun yang melihatnya hanya diriku sendiri. Menurutku itu lebih penting, yang harus terasa nyaman lebih dulu, daripada pakaian luar.

Aku memang aneh.

Sebenarnya, apa pun yang kupakai tidak ada pengaruh. Tidak akan membuatku mendadak jadi pusat perhatian. Seharusnya aku tidak perlu sepusing ini.

Suara gemuruh protes perut mengingatkan kalau aku belum makan siang. Sepertinya aku akan meminta Rara untuk mencari makan siang dulu sebelum kami mulai berkeliling nanti.

Untuk kali pertama, aku merasa lega melihat penampilan Rara. Standar ‘pakaian santai’-nya ternyata sama denganku. Dia mengenakan kaus putih polos lengan pendek, dilapisi vest denim, rok lipat selutut, dan flat shoes. Aku sendiri memilih atasan rajut oversized warna mustard, skinny jeans abu-abu yang bagian bawahnya digulung hingga atas mata kaki, dan converse hitam putih.

“Gue pernah bilang nggak sih kalau gue iri banget sama badan lo?” ucap Rara tiba-tiba, sembari menyerahkan salah satu helm padaku. “Apalagi kaki lo. Jenjang banget. Lo pernah kepikiran jadi model nggak?”

Aku menggeleng cepat.

“Sayang banget,” gumam Rara, seraya menaiki motor matic miliknya.

Aku ikut naik ke boncengannya sebelum dia memunculkan pertanyaan ajaib lain. Perlahan motor itu melaju meninggalkan garasi indekos.

*~*

EqualWhere stories live. Discover now