Pintu ruang rekaman terbuka. Sosok Ibnu lebih dulu keluar dari sana, diikuti pacarnya, dan Ashan berjalan paling belakang. Saat melewati mejaku, Ibnu melambai singkat dengan senyum tipis, sementara pacarnya hanya mengangguk sopan sambil memeluk lengan Ibnu. Mereka berdua terus berjalan melewati pintu keluar, sementara Ashan bergabung denganku.

“Masih aja demam panggung lo?” tanya Ashan.

Aku tidak menjawab.

Ashan menghela napas. “Ibnu nggak mau pakai aransemen lo, kalau lo emang nggak mau terlibat. Dia nggak enak katanya. Soal lagu duet sama lo juga dia minta nggak usah dikasih ke Vino. Dia mau lanjut usaha sendiri aja.”

Ucapan Ashan membuatku agak terekejut, tapi aku masih tetap tidak berkomentar.

“Tapi gue udah terlanjur ngasih ke Vino sih. Tinggal tunggu aja nanti gimana. Belum tentu juga diterima kan?” gumamnya. Kemudian dia berdiri. “Gue mau balik. Bareng nggak?” tawarnya.

Aku mengangguk. “Gue kunci pintu dulu.”

Ashan membiarkanku memeriksa seluruh ruangan, memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat, sementara dia berjalan keluar lebih dulu. Setelah yakin semuanya aman, aku menyusul Ashan keluar. Ashan membantuku mengunci pintu depan dan menurunkan rolling door, kemudian menggemboknya.

“Makan dulu, ya. Laper gue,” ajak Ashan, saat kami sudah berada di mobilnya.

Lagi-lagi, aku hanya mengiyakan sambil memasang seatbelt.

Sedan merah itu melaju pelan meninggalkan studio Vino. Tidak sampai lima belas menit, mobil itu berhenti. Aku mengikuti Ashan turun, duduk di lesehan warung tenda pecel lele. Karena tidak terlalu lapar, aku hanya memesan es jeruk sementara Ashan memesan nasi putih, lele, dan ayam goreng.

“Lo sama Ibnu tuh mirip kelakuannya.”

Keasyikanku menatap butiran biji jeruk yang berputar di gelas karena kuaduk, seketika terhenti. Aku mendongak, menatap Ashan yang tengah menikmati makanannya.

Ashan melirikku sekilas, sebelum kembali pada lelenya. “Kalian ada bakat, tapi penakut.”

Aku tahu itu dan mengakuinya. Aku memang pengecut. Tapi Ibnu?

“Ibnu nggak takut terkenal,” gumamku. “Dia malah pengin jadi penyanyi profesional, kan? Nggak kayak gue...”

“Iya, tapi dia terlalu takut buat ambil resiko. Lagu-lagunya bagus, tapi kosong. Dia bisa lebih dari itu, tapi nggak berani. Padahal kalau dari omongan dia ke gue, dia pengin banget berkarier di musik.”

Aku menyeruput es jerukku sedikit. “Mas Ashan pernah ngomong gitu langsung ke dia?”

“Nggak. Gue nggak sedekat itu sama dia.”

“Tapi cukup dekat sampai bisa tahu segitunya.”

“Kan, gue pengamat.” Ashan menyeringai. “Ibnu tuh kebanyakan mikir, sampai bikin musik aja dijadiin beban pikiran buat dia.”

Aku diam. Ashan juga tidak berkata apa-apa lagi, memilih fokus menghabiskan makanannya. Begitu selesai, dia mengantarku pulang.

“Na,” tahannya, saat aku sudah akan membuka pintu mobil. “Lo hebat kok. Nggak ada yang harus bikin lo insecure.”

Aku bisa merasakan pipiku menghangat. Namun aku tidak menanggapi, hanya mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarku, lalu melompat turun.

*~*

Minggu adalah satu-satunya hari liburku dalam seminggu. Kali ini aku menggunakannya untuk membereskan kamar kosku, yang memang kubiarkan berantakan saat hari kerja. Bukan karena tidak sempat, tapi memang aku saja pemalas. Aku memungut baju-baju kotor, memasukkannya ke keranjang pakaian kotor dan membawanya ke kamar mandi. Sebenarnya kosanku dilengkapi dengan jasa laundry kiloan, tapi aku memilih mencuci sendiri. Kecuali memang sedang malas luar biasa dan cucian bajuku menumpuk lebih dari seminggu.

EqualWhere stories live. Discover now