53

15.1K 3.3K 484
                                    

"Aduh~ ada apa sih ribut-ribut? Telinga ku sampai berdengung." kata Aslan sembari bangkit dari posisi tubuhnya yang berbaring. Lelaki itu sempat meringis karena badannya yang terlalu kaku untuk di gerakkan. Tulangnya bahkan bergemelutuk ketika ayah tiga anak itu meregangkan tubuhnya pelan.

"Apa ini?" gumam Aslan melihat batu hijau sebesar bola rugbi di samping tubuhnya. "Oh, batu hijau ajaib milik suku para bandit." Katanya yang bertanya dan menjawab sendiri.

"Tapi siapa yang membawanya?" ujar Aslan masih bermonolog.

"Ehh— Adam bisa terluka kalau kau mengangkatnya begitu, Alex. Ibunya sangat galak, aku tidak mau di marahi lagi." Aslan kembali meringis ketika melihat Adam yang masih menganggantung di udara dengan kepala di bawah dan kaki di atas.

"H-hik .. hiks .. papa!!" Rubyanne yang masih di gendongan Abraham kembali menangis dengan kencang— hingga kesadaran semua orang kembali ke tubuh masing-masing.

"A-ayah? Ini betulan ayah?" Adam bergerak dengan tergesa, bocah itu sampai menendang perut sang paman saking tak sabarnya kemudian berlari menghampiri Aslan. Bocah itu lalu mencubit-cubit lengan Aslan yang masih terbalut piyama tidur, "sakit tidak?"

Aslan menggeleng, "tidak."

Kemudian Adam kembali menunduk lesu, "ternyata cuma mimpi." Adam mulai terisak, akan kembali menangis hingga ingusnya belepotan seperti kemarin.

Aslan jadi gelagapan, kemudian, "a-ah! Aduh sakit! Ini sakit sekali! Tangan ku rasanya bisa buntung." kata Aslan mendramatisir, pura-pura merasa sakit. Tapi sayang, Adam sudah menangis— menangis dalam diam hingga  menyayat hati Aslan yang masih linglung dengan keadaan.

"H-hei, Adam. Jangan menangis, oke? Memang cubitan mu tidak sakit sih, tapi aku ini nyata. Kau tidak bermimpi, ini aku, Aslan, ayah mu." Aslan merangkul bahu Adam, mencoba meyakinkan Adam bahwa dirinya benar-benar nyata.

Adam mengangkat kepalanya sembari menyeka ingus, "betulan ayah?"

"Iya, aku ayah mu, bukan arwah penasaran." Aslan tersenyum miring, kemudian mengacak rambut Adam gemas. Lelaki itu lalu beralih pada Rubyanne yang masih sesenggukan di gendongan kakaknya. "Gadis ku kenapa menangis? Kemari dan peluk papa."

Rubyanne mengucek matanya kasar, mencoba menghentikan air matanya yang terus mengalir dengan deras. Abraham yang mengerti kemudian menurunkan Rubyanne di atas kasur, membiarkan gadis itu sendiri yang menghampiri sang ayah. "Astaga, gadis ku." Aslan meraih tubuh Rubyanne dan  memeluknya erat, tangan lelaki itu masih tetap kekar meski sebulan tak makan nasi. Adam yang masih di samping Aslan juga ikut memeluk ayahnya sembari masih menangis tersedu-sedu.

Aslan tertawa, "kalian ini terlalu terbawa suasana atau apa? Padahal aku 'kan cuma tidur satu hari."

"Tidur satu hari Anda bilang?!" kata Theo yang hampir menghajar Aslan jika saja kekasihnya tak menahan. "Jangan, dia rajanya psikopat." kata Helena yang mencoba menahan Theo.

"Hei, kawan-kawan ku, apa kabar kalian?" Aslan menyapa, kemudian beralih pada Duncan yang paling mencolok di matanya, "kantung mata itu .. semakin membesar, ya?" Aslan menunjuk kantung mata Duncan yang lebih hitam dari biasanya. Duncan yang mendengar ejekan itu hampir mengumpat, tapi tidak jadi karena merasa lega Aslan masih tetap sama, tak berubah seperti dulu lagi.

Lalu Aslan beralih pada Alexander yang masih berdiri mematung, mata nya juga sudah berkaca-kaca, siap meniru Adam— menangis tersedu-sedu. "Kalau mau di peluk bilang, jangan diam di situ seperti cicak. Dasar gendut cengeng."

"H-hik, hiks, kakak~" Alexander memeluk Aslan yang juga masih mendekap tubuh Rubyanne dan Adam. Kedua tubuh bocah itu sampai terhimpit karena Alexander terlalu kencang memeluk Aslan.

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang