22

16.7K 3.4K 275
                                    

Rubyanne menatap taman dari atas balkon kamar pribadi milik Aslan, wajah kecil bocah itu menyelip di antara tembok pembatas balkon. Tubuhnya yang mungil masih terbalut gaun piyama anak berwarna peach, warna yang kebetulan di sukai oleh mendiang istri-istri Aslan.

Mata bulatnya melirik ke kiri dan kanan, mencari sesuatu yang sedari tadi mengganjal di benaknya. Padahal jika orang itu tidak ada, artinya dia bisa hidup dengan tenang tanpa takut di cambuk atau di tebas seperti tragedi yang menimpa Lady Hermessent.

Tapi .. kenapa hatinya sedikit gelisah? Oh, bukan sedikit, tapi banyak hingga dia mengabaikan kukis coklat buatan paman Arduino yang selama beberapa hari ini menghibur Indra perasa nya.

Rubyanne menutup mulutnya sembari mengintip ke belakang, melihat Brian yang mendesah resah menatap piring cemilan milik Ruby. Ah, bahkan dia membuat khawatir ksatria Everett karena tak menghabiskan susu strawberry-nya yang kini sudah mulai dingin di atas nakas.

Tapi Rubyanne sadar, dia hanya kutu yang menumpang, parasit pembawa sial yang membunuh ibunya sendiri. Jadi dia tak boleh nakal, kalau nakal, nanti tubuhnya di pukuli lagi, tak di beri makan dan hanya mengunyah nasi basi. Rubyanne berbalik kemudian berlari menghampiri Brian, lalu meneguk susu strawberry yang sudah dingin itu dengan tergesa-gesa hingga tersedak dan terbatuk berkali-kali.

"Nona!" Brian berteriak karena terkejut, nona-nya jelas tidak boleh meminum susu dingin, susu dingin = susu basi. Baru saja Brian akan merebut gelas susu itu, seseorang sudah merebutnya terlebih dahulu.

"Apa bahkan bayi tak bisa meminum susu dengan benar? Merepotkan." Adam menatap Rubyanne dengan tatapan datarnya. Piyama cantik bocah kecil itu jadi kotor karena terkena tumpahan susu.

Rubyanne menunduk takut, kedua tangannya saling mencengkram, meski tak menangis, siapapun juga tahu bahwa gadis itu ketakutan. Adam mendesah jengah mengingat pesan ayahnya untuk bersabar dan menjaga Rubyanne dengan sepenuh hati. "Tak masalah, bayi memang begitu." Adam mengusap bekas susu yang menempel di wajah Rubyanne  menggunakan sapu tangan bersulam emas dengan lambang kebesaran Wialachaues.

Awalnya Rubyanne menutup mata, pasrah jika harus di pukul lagi, tapi dugaannya 100% salah, Adam malah membersihkan noda pada wajah Rubyanne yang lengket karena susu. Mata gadis itu berkedip-kedip heran, menatap wajah tampan kakaknya yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Bukankah kakak ini sama seperti orang itu? Yang kejam, sadis, dingin dan tidak berperikemanusiaan. Jika dia lupa, yang menebas lengan Marilyn Hermessent jugalah Adam.

Adam yang merasa di tatap, menatap balik Rubyanne dengan mata datarnya, kemudian meniup wajah lugu Rubyanne. "Lumayan." Gumamnya ambigu sembari berdiri kembali.

"Tapi daripada itu, kenapa susu untuk bayi ini sangat dingin?" Adam beralih menatap pengasuh Rubyanne, maksudnya ksatria Brian Everett.

Brian gelagapan, "tadi nona muda terlihat resah, bahkan mengabaikan camilan kesukaannya hingga dingin dan melamun di pinggir balkon. Namun tiba-tiba dia berlari ke arah ku dan meneguk susu dingin ini."

Adam mengangguk sembari mengelus dagunya, menilai perkataan Sir Brian, "begitu?"

Brian meneguk salivanya kasar, makin hari, Adam makin tumbuh seperti Aslan. Memang darah selalu lebih kental. "Ya, Yang Mulia."

Adam kemudian beralih pada Rubyanne lagi, "apa ada yang sedang kau pikirkan bayi?" Tanya Adam, tapi tak lama alis Adam tiba-tiba mengkerut dalam, "memangnya bayi bisa berpikir?"

Brian ingin sekali menepuk jidatnya sendiri, atau bahkan menghantamkan kepalanya sekalian pada tembok, dia lupa bahwa Adam juga masih anak kecil yang sedikit polos.

"Tentu saja, Yang Mulia. Bayi pun bisa resah jika merasa tidak nyaman dan tertekan." Kata Brian.

"Lalu apa bayi ini merasa tertekan?"

"Saya juga tidak tahu, Yang Mulia. terkadang bayi memang sulit di mengerti." Brian berpikir dalam hati, bukankah Rubyanne berumur 5 tahun? Mengapa dia bahkan ikut menyebut Rubyanne bayi?

Rubyanne jadi makin gelisah karena di tatap oleh dua orang di depannya, apalagi dijadikan topik pembicaraan hangat. Memang dia kurang mengerti apa yang kedua orang itu bicarakan, namun dia tahu siapa subjeknya.

Adam menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "kenapa? Kau ini kenapa?"

Rubyanne yang merasa terancam mundur beberapa langkah ke belakang, takut di tebas Adam, untungnya Sir Brian cepat-cepat menyela, "mungkin, nona mencari Tuan Duke Agung." Brian menggigit lidahnya, lelaki berambut blonde itu hanya asal menebak. Melihat perilaku Rubyanne beberapa waktu lalu yang anti Aslan, membuat tebakan tadi hanyalah sebuah ketidak mungkinan.

Adam menatap Rubyanne, "begitu?"

Rubyanne tak membalas, wajahnya hanya semakin murung, otak kecilnya berkata dia akan hidup damai jika tanpa Aslan, tapi hatinya tidak. Sudah 2 hari ini dia tak melihat orang itu, sosok ayah kesukaannya sekaligus ketakutan terbesarnya.

Adam mendesah lelah, "ayah pergi bertugas untuk sementara waktu. Mungkin .. dia akan pulang 5 tahun lagi?"

Rubyanne yang menunduk mengangkat kepalanya dengan tiba-tiba, meski tak berkata apa-apa, raut wajahnya terlihat sangat cemas, khawatir, syok dan kaget. Apalagi matanya yang terlihat berkaca-kaca.

"Eh .." Adam panik, dia jelas hanya bercanda, apa bayi juga tak bisa di ajak bercanda?

Brian juga panik bukan main, apalagi dia menyangka Rubyanne membenci Aslan hingga ke akar. Tapi Brian juga bisa lega, artinya, Rubyanne juga menyayangi ayahnya.

"Aku hanya bercanda, miggu depan juga ayah sudah pulang, mungkin." Adam menatap Sir Brian, meminta pertolongan namun dengan mata melotot.

Sir Brian mengangguk, "ya, Tuan muda Adam benar. Yang Mulia Duke Agung pasti akan pulang secepatnya."

Wajah cantik Rubyanne yang gelisah mulai melunak, wajahnya seakan berkata 'begitu?'

Adam dan Brian Everett mengangguk bersamaan, seperti sudah di riset untuk tunduk pada satu orang yang sama.

"Daripada bersedih, lebih baik ikut dengan ku." Adam menarik lengan Rubyanne, membawa gadis itu keluar dari kamar milik Aslan kemudian menuruni tangga menuju dapur. Sir Brian mengikuti di belakang, penasaran.

"Nah, karena hari ini para pelayan baru akan tiba, aku akan menyiapkan pesta kecil untuk mereka." Adam mengusap kedua telapak tangannya, wajah tampannya tersenyum licik seperti seorang psikopat.

Rubyanne hanya terdiam, menatap polos wajah kakaknya yang aneh.

Adam kemudian mengambil panci yang kemudian diisi oleh air es dan es batu yang ia buat dari esensi mana sihirnya sendiri. Kemudian menyuruh Rubyanne untuk merobek-robek koran bekas, pekerjaan yang paling mudah untuk dilakukan seorang bayi, pikir Adam.

Rubyanne hanya menurut, mengamit koran bekas yang di berikan Adam kemudian duduk di pojok dapur untuk mulai merobek koran sesuai titah Adam.

Adam mengelus dagunya, "kurasa ini kurang spektakuler." Kemudian dia beralih pada Brian yang terbengong di bingkai pintu, "lumpur! Tolong ambilkan seember lumpur di danau belakang!" Brian mengangguk patuh, kemudian berlari ke tempat yang di tuju. Entah mengapa ia merasa bersemangat meski perasaannya tidak enak.

Adam tersenyum puas, Rubyanne menjalankan tugasnya dengan sangat baik, begitupun dengan Brian yang membawa seember besar lumpur yang kotor, "nah, panci berisi air akan di pasang di atas pintu utama, kemudian seember lumpur di atas pintu asrama pelayan, dan potongan kertas di pintu kamar mandi khusus pelayan."

Arduino bahkan ikut terseret hari ini, dia membantu memasang semua jebakan dengan sempurna agar tak ada yang curiga, dia juga sudah memberitahu Sir Duncan dan para prajurit yang menjaga mension untuk tak membuka pintu dengan sembarangan. Takut rencana usil tuannya akan gagal.

Sir Arduino yang sedang memasang ember lumpur menoleh ke arah Adam, "bagaimana jika Yang Mulia Duke Agung marah?"

Adam yang sedang menuang minyak pada lantai bersama Rubyanne menoleh, "dia tidak akan marah jika tak ada yang memberitahu, 'kan? Jika ayah tahu dan marah pun, aku sudah tahu siapa pengkhianat di antara kita."

Smirk Adam membuat Arduino bergidik ngeri, mengapa ayah-anak ini selalu membuat orang-orang lemah merinding disko?



[A/n : semoga gak ada yang nge-ship Adam sama Rubyanne setelah ini, haha. Spam komen untuk double up di chapter depan, gimana?]

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang