46

14.6K 2.9K 1K
                                    

Terompet di tiup nyaring berbarengan dengan ratusan kuda yang kembali ke tempatnya masing-masing. Para prajurit bahu-membahu merangkul anggotanya yang terluka untuk mendapatkan pertolongan pertama— dengan ringisan dan teriak perih yang terus bergema menjadi musik pengiring mengiris hati.

Langit hari itu sudah hampir gelap, burung gagak pemakan bangkai mulai terbang memutari medan perang dengan ratusan mayat tergeletak. Di tengah-tengah padang mayat itu, seorang pemuda berdiri menancapkan pedangnya. Diam membiarkan angin berhembus meniup rambut hitamnya yang legam, matanya terpejam dengan tangan yang mengepal di dada. Berdoa untuk prajurit-prajurit setianya yang telah gugur.

Bau amis darah sama sekali tak mengganggunya, justru peperangan inilah yang membuat nuraninya murka. Perang kekanakan yang di dasari oleh arogansi dan ambisi semata. Ulah para petinggi yang tak memiliki welas asih.

"Berapa yang gugur kali ini?" kata pemuda itu tanpa membuka matanya yang tertutup.

"Hampir seperempatnya, lebih banyak dari yang kemarin." sahut seseorang yang kini sudah berdiri di belakang si pemuda tadi.

Pemuda berambut hitam menghela napasnya pelan, kemudian kembali menyarungkan pedangnya yang tertancap di tanah. Matanya terbuka, menampilkan iris biru keunguan yang tampak bersinar di terpa cahaya jingga senja itu.

"Aku harap bisa menguburkan mereka satu-persatu." katanya, mata biru keunguannya melirik ke sekeliling— dimana mayat-mayat tergeletak menunggu burung-burung pemakan bangkai mematuki daging mereka.

"Mungkin suatu saat nanti, kalau kaisar itu mau waras sih." Rekannya, si pria berambut cokelat kehitaman tampak membungkuk, memunguti pedang-pedang yang tergeletak, siapa tahu masih bisa di gunakan.

"Ini sudah 7 bulan, orang-orang disini sudah hampir habis. Sampai kapan mereka akan terus bermain-main?"

"Bung, kita hanya orang kecil yang tak tahu isi otak para pemimpin."

"Kau, bukan kita."

Pria berambut coklat tertawa, "iya-iya, putra sulung Duke Agung yang terhormat."

Abraham menggeleng, kemudian ikut memunguti senjata-senjata yang tergeletak. Pemuda yang masih menginjak usia 15 tahun itu tampak gagah dengan perawakan yang dewasa. Memiliki sorot mata yang tajam, tubuh yang tinggi tegap dan aura yang tegas. Tak salah semua orang memanggilnya Elang medan perang.

Tak ada musuh yang tak bisa pedangnya cengkram. Si penakluk. Abraham Percival Wialachaues.

"Hei! Semua orang sudah menunggu! Jangan membuang-buang waktu seperti orang bodoh begitu!" teriak seorang wanita berambut bondol dengan kuda cokelat tunggangannya.

"Aduh, dia lagi." gerutu Victor menyembunyikan wajahnya dari amukan si wanita bar-bar, Helena.

"Berhenti mengajari tuan muda memunguti barang bekas!" ujar Helena garang, tubuhnya yang kecoklatan meloncat dari atas punggung kuda dengan ringan.

"Hei, ini namanya recycle! Daur ulang! Dana perang kita bisa di hentikan kapan saja. Sebelum itu terjadi, alangkah baiknya kita memanfaatkan barang-barang bekas yang ada." Victor tetap memunguti semua senjata yang matanya lihat, ini adalah investasi di masa depan.

"Victor ada benarnya, meski hanya barang bekas pakai, setidaknya kita punya cadangan." kata Abraham mencoba memberi pengertian kepada Helena.

Helena mendengus lalu merogoh sakunya, memberikan sepucuk surat kepada Abraham, "orang itu mengirimi Anda surat lagi."

Abraham mengernyit bingung, tapi tak bertahan lama karena dia langsung hapal siapa orangnya, "oh." Abraham membuka cap lilin surat itu, yang dengan jelas tercetak lambang singa di atasnya.

A STORY OF WIALACHAUES [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang