13 | halaman ketigabelas

Start from the beginning
                                    

Semua terasa secara tiba-tiba.

"Ah, iya. Untuk pembayarannya, dimana?" tanya Haruto. Beruntungnya ia masih punya beberapa tabungan yang cukup banyak di rekeningnya, karena Nyonya Watanabe sering mengisi saldonya padahal belum habis.

"Kalo kamu keluar, itu belok kanan terus, nanti juga ketemu." jawab dokter itu, dan diangguki oleh Haruto.

"Baik, terimakasih. Saya mohon tolong kakak saya, dia berharga." ucap Haruto tampak tak bersemangat, dan segera pergi dari sana.

Haruto berencana untuk pulang kerumah membersihkan diri, dan setelah itu ia akan pergi dari sana. Tenang saja, ia akan minta tolong pada teman dekatnya, Park Jeongwoo untuk tinggal dirumahnya sementara.



Haruto hanya merasa.. kecewa? Ah, itu sudah pasti.



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



"Haru, kamu mau kemana lagi nak?"

Haruto hanya menatap Nyonya Watanabe sinis, kemudian kembali mengemas bajunya kedalam sebuah koper. Ia ingin pergi sementara dari sini, Haruto masih terlalu syok.

"Bukan urusan tante."

Nyonya Watanabe tampak sangat terkejut, kemudian menghampiri Haruto dan menatap matanya khawatir. "T-Tante, kamu bilang?"

Haruto mengangguk. "Iya, tante. Bener kan? Aku salah dimana?" ujarnya santai.

Nyonya Watanabe tampak meraih tangan Haruto, dan menatapnya sedih. "Kamu tega? Kamu tega bertingkah seperti ini sama orang yang sudah merawat kamu?"

Haruto melepaskan tangannya dari Nyonya Watanabe. "Tante aja tega perlakuin kakak saya kayak gitu, malah udah bertahun-tahun. Kalo tante perlakuin Kak Asahi baik, aku juga bakal pergi baik-baik." desisnya, dan segera keluar dari kamarnya.

"Lagi-lagi karena anak itu ya kamu membantah, hm?"

Haruto berhenti, kemudian kembali menghadap Nyonya Watanabe yang sudah memasang wajah angkuhnya. Dikira keren kali? Batin Haruto.

"Emangnya kenapa? Dia kakakku." jawab Haruto dengan penekanan, membuat Nyonya Watanabe tersenyum miris.

"Kakak yang kamu anggep itu udah lakuin apa aja sih buat kamu? Hah?"

Kini, giliran Haruto yang tampak tersenyum miring. "Gimana ya jawabnya? Susah sih, tante gak bakal ngerti." ucapnya, dan meninggalkan Nyonya Watanabe sendiri disana.

Diam-diam, Nyonya Watanabe tampak mengepalkan tangannya erat, dan mengucapkan beberapa sumpah serapah dalam batinnya.





[ • • • ]





"Gue udah didepan rumah lo."

Haruto memutuskan sambungan teleponnya, dan menunggu seseorang untuk membukakan pintu rumahnya.


Cklek!


"Lama bener," desis Haruto, sambil menyelonong masuk kedalam rumah tanpa dipersilahkan.

Park Jeongwoo, pria itu hanya menggeleng pasrah. Ia menutup pintu rumahnya, dan menghampiri Haruto yang sedang terduduk lemas di sofa nya.

Sudah biasa Haruto datang kerumahnya. Entah itu sekedar bermain, belajar bersama. Beruntungnya Jeongwoo hanya tinggal bersama kakaknya, Park Jihoon. Tapi untuk kali ini, Haruto ingin menginap terlebih dahulu.

Mereka teman dekat semenjak SMP, tapi Jeongwoo hanya pernah ke rumah Haruto dua kali, itu pun bukan untuk bermain, melainkan mengantar Haruto untuk mengambil seragamnya yang ketinggalan.

"Lo kenapa lagi dah?" tanya Jeongwoo sambil menyeruput es cincau dingin di botol minumnya.

Haruto mendengus lelah. "Gue kok goblok banget sih Woo." ucapnya lirih, sambil mengusap wajahnya kasar.

Jeongwoo meletakkan botol minumnya sedikit keras. "Lo yang pinter kayak gitu dibilang goblok, apa kabar sama gue, hah?"

"Lo tau Asahi, gak?"

Haruto tak menghiraukan perkataan Jeongwoo sebelumnya, dan beralih menanyakan Asahi pada Jeongwoo.

"Asahi? Asahi Azumane Haikyuu?"

"Bukan ck —ah udahlah. Gue titip barang gue dulu ya Woo. Mau keluar dulu bentar." ucap Haruto yang disertai umpatan diawal kalimatnya, dan beranjak pergi dari sana.

Sedangkan Jeongwoo hanya menatap pria itu bingung.








Gue salah apa sih? Udah numpang, ga tau diri lagi. Batinnya.




[ • • • ]





Seorang pria dengan struktur wajah yang sempurna dan rambut yang tampak berantakan karena angin tampak memandang kosong sungai dihadapannya.

Ia mengambil kerikil disampingnya, dan melemparnya jauh kedalam aliran sungai sana.

Langit tampak menunjukkan warna jingga yang hangat dan menenangkan, dan setiap kali melihatnya, ia teringat dengan seseorang yang kini terbaring lemah di rumah sakit.

Setetes air merambat di kedua pipinya, dan ia menghapusnya dengan kasar.

Ah, bagaimana ini? Ia tidak tega mengunjungi kakaknya. Apa yang harus ia katakan? Meskipun kakaknya masih belum sadar, hanya dengan melihat wajahnya pun ia ingin kembali menangis.

Haruto kecewa pada dirinya sendiri. Ternyata sesakit ini, ya?

Mengingat bagaimana ia seringkali mengabaikan dan mengatakan hal-hal yang buruk pada pria yang diduga kakaknya membuatnya merasa kecewa pada dirinya sendiri.

Ditambah lagi pria itu tidak membalas, apalagi saat diperlakukan kasar oleh ibu —ah ralat, tantenya.

Yang paling ia ingat pada saat ia masih menduduki bangku kelas tujuh, saat itu ia pulang dari rumah Jeongwoo untuk belajar, dan pada saat itu juga ia mendengar suara ibunya di kamar Asahi.

Haruto hanya mengabaikan dan tidak peduli. Hingga keesokan paginya, ia menyadari ada beberapa lebam di bagian lengan Asahi.

Mungkin yang Haruto tau hanya itu, tapi bagaimana selebihnya? Haruto tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia di posisi Asahi yang tidak memiliki orangtua dan orang yang mengerti soal dirinya.

Berusaha menggapai mimpinya tanpa ada seseorang yang memberi support padanya. Dianggap pembantu oleh orang yang mengasuhnya. Kerja sambilan secara diam-diam. Ah, Haruto tidak bisa mendeskripsikan semuanya.

"Gue harus gimana kak? Gue takut.." lirih Haruto, sambil menatap langit-langit indah diatasnya.

"Kenapa gue mulai baikan sama lo beberapa bulan lalu? Dari dulu gue kemana aja ya? Bodoh." umpat nya pada diri sendiri.

Haruto beranjak untuk berdiri, dan memanggil sebuah taxi untuk pergi mengunjungi Asahi ke rumah sakit.

Memikirkannya sendirian disini membuatnya semakin sakit, dan itu semua akan bertambah sakit saat nanti ia melihat keadaan Asahi.


























Lo harus bertahan, kak. Gue mohon.

You're Enough! ✔Where stories live. Discover now