O4 | halaman keempat

581 127 6
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Ah, jadi mulai Jum'at? Oke oke, makasih Gyu."

Asahi menutup teleponnya yang tersambung dengan Beomgyu, dan beranjak untuk duduk di tepi kasurnya.

Beomgyu mengatakan, ia bisa mulai bekerja di hari Jum'at, mulai pukul empat sore hingga delapan malam. Sekarang ia hanya bingung bagaimana caranya agar Asahi tidak ketahuan oleh Nyonya Watanabe?

Setahu Asahi di hari Kamis sampai Minggu, Nyonya Watanabe pulang malam dari kerjanya, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan bagaimana resiko yang Asahi terima jika ia terciduk.

Selain ingin membeli alat komposer baru, Asahi berencana menabung uangnya untuk konsultasi ke dokter soal rasa sakit yang seringkali muncul baru-baru ini.

Lebih buruknya lagi, rasa sakit kali ini tiga kali lebih sakit dan lebih lama dari tahun sebelumnya.



"HAMADA!"



Asahi segera beranjak saat mendengar panggilan dari Haruto yang berasal dari kamarnya. Jangan heran jika Haruto memanggil Asahi dengan nama depan, mungkin ia tidak sudi memanggil dengan namanya.

Tepat saat Asahi masuk kedalam ruangan Haruto, ia mendapati tubuh pria Watanabe tersebut yang sedang terkulai lemas dibawah sambil memukul dinding lantai dengan tangan yang mengepal.

Asahi panik, sangat panik. Lantas ia mengambil segelas air beserta inhaler, dan memberikannya pada Haruto. Dengan hati-hati Haruto meneguknya dan menggunakan inhaler nya, kemudian keadaan lebih tenang sesaat.

Keadaan Haruto cukup kacau. Beberapa helai rambut menutupi wajah tampannya, dan sebuah keringat tampak bercucuran di pelipisnya.

Asahi membawa Haruto untuk duduk diatas kasurnya. "Kamu kenapa? Gak mau periksa ke rumah sa—

"Diem! Please, diem.." potong Haruto, sebelum Asahi menyelesaikan kalimatnya.

Asahi diam, dan mengusap punggung Haruto pelan untuk menenangkannya. Ia mengerti. Namun tiba-tiba, Haruto menangis dan menutup wajahnya.

Asahi yang menyadari hal tersebut kembali panik.

"Gue penyakitan! Gue gak pantes hidup!" Haruto berteriak, masih dalam keadaan menutup wajahnya. Asahi mengelus puncak surai Haruto lembut, berniat menenangkan.

Haruto memiliki penyakit asma sejak kecil, dan itu semua bertambah parah semenjak ia tidak mendengarkan ibunya untuk tidak mengikuti kegiatan tambahan di sekolah yang kegiatannya bisa sampai larut.

"Kamu gak perlu maksain buat ikut kelas tambahan kalo malah makin parah gini." lirih Asahi, dan Haruto menggeleng.

"Lo gak bakalan ngerti karna lo pinter. Gue cuma orang bodoh yang mati-matian belajar dan belajar! Gue mau berusaha!" bentaknya, dan Asahi masih diam agar Haruto dapat melampiaskan semuanya.

"Gue selama ini cuma bisa manja, nikmatin harta orang tua doang tapi gue sendiri ga pernah bahagiain mereka."

"Mama emang gak maksa gue jadi pinter, tapi gue pengen! Gue pengen jadi anak yang berguna, tanpa ada penyakit sialan ini!"

"Lo tau gak sih rasanya gue harus ngancem diri gue sendiri disaat gue berusaha ngelakuin sesuatu? Rasanya gue pengen mati.."

Kemudian Haruto memukul dadanya sendiri, dan Asahi sebisa mungkin menahan tangan pria tersebut, walau tenaganya tidak terlalu kuat.


Brak!


"LOH, HARUTO? KAMU KENAPA?!"

Pintu kamar Haruto terbuka dengan kasar secara tiba-tiba, dan Asahi melihat Nyonya dan Tuan Watanabe yang sepertinya baru pulang bekerja sedang panik melihat keadaan anaknya disana.

Asahi yang awalnya duduk disamping Haruto ditarik kasar oleh Nyonya Watanabe, menyebabkan ia terjatuh ke lantai dengan keras.

Sesaat kemudian kepalanya kembali sakit, benar-benar sakit. Sebisa mungkin Asahi menyembunyikan rasa sakitnya dan pergi dari sana, tapi sepertinya Tuan Watanabe mengetahui gelagat Asahi.

"Asahi? Kenapa?"

Asahi menggeleng, dan menunjukkan senyumnya sebagai tanda bahwa ia tidak apa-apa.

Tiba-tiba Tuan Watanabe menarik Asahi keluar dari kamar Haruto yang berisik karena ocehan Nyonya Watanabe yang tiada hentinya.

Ia membawa Asahi ke ruang tengah, dan membuka sebuah laci yang tampaknya berisi obat-obatan.

"Kepala kamu sakit lagi? Bukannya tahun-tahun lalu udah gak sakit ya?"

Asahi mengangguk pelan. Sebenarnya hanya Tuan Watanabe yang tau perihal sakit yang diderita Asahi beberapa tahun lalu. Dulu, setelah ia meminum obat darinya, rasa sakit di kepalanya hilang dan tidak taunya ternyata muncul lagi.

Tuan Watanabe mengambil segelas air di dapur dan sebuah obat di tangannya, kemudian memberikannya ke Asahi.

"Maafkan istri saya ya, sepertinya dia reflek menarik kamu sampai terjatuh tadi karena terlalu panik." ucapnya dan diangguki Asahi.

Dengan sigap Asahi meminum obatnya, dan memejamkan matanya pelan.

Lega, sungguh Asahi merasa kepalanya langsung ringan dan rasa sakitnya hilang entah kemana. Ia membuka matanya, dan melihat Tuan Watanabe yang tengah menatapnya khawatir.

"Sudah baikan? Gimana?" tanyanya, dan Asahi tersenyum tipis sembari mengangguk.

"Sudah, sangat baik malah. Terimakasih, paman." jawab Asahi, dan Tuan Watanabe tersenyum sambil mengusap puncak kepalanya lembut.

"Saya tinggal dulu ya ke Haruto. Kalau kepala kamu sakit lagi bisa bilang ke saya." Asahi mengangguk, dan Tuan Watanabe pergi ke kamar Haruto.

Ah, Asahi jadi penasaran obat apakah itu. Ia ingin membeli nya sendiri, barangkali sakitnya kumat sewaktu-waktu ia sedang diluar.

Dengan lemas, Asahi beranjak dan pergi ke dapur untuk melihat apakah ada makanan yang tersisa untuk perut kosongnya.

Kadang ia kesal saat Tuan Watanabe tidak menyadari bagaimana ia diperlakukan dirumah ini. Tapi kembali ke alasan sebelumnya, ia tidak mau diusir.

Masih banyak yang belum ia lakukan untuk membalas budi pada keluarga Watanabe ini, meskipun perlakuan mereka seperti itu.

Terlebih lagi Haruto. Entah mengapa rasanya Asahi ingin melakukan sesuatu yang bermakna bersama adik sepupu nya yang bahkan tidak menganggapnya itu.

Ia menyayangi Haruto seperti adik kandungnya sendiri sejak kecil. Asahi juga merindukan Haruto kecil yang menganggapnya ada, berbeda dengan sekarang yang terkesan cuek dan tidak peduli.















Kapan ia bisa meluluhkan Haruto dan orang tuanya? Apakah ia bisa?

You're Enough! ✔Where stories live. Discover now