Bonus Part: Merinding

3K 853 103
                                    

Rumah Oma

"Dulu aja kalau datang ke sini pasti mintanya permen, uang jajan. Sekarang udah gede kalau datang cuma numpang main game sama tidur."
Penuturan Oma, Ibu dari Papi, membuat hati lagi-lagi membatin.

Niatnya ingin molor, tetapi suara Ibu dan anak itu membuatku terbangun dan berakhir pura-pura tidur. Ya, saat ini aku tengah berada di rumah Oma karena wanita paruh baya itu tengah ditinggal anak pertama dan cucunya ke rumah mertuanya, alhasil aku dan Papi menemaninya malam ini.

"Ibu masih ingat waktu dia ngompol, terus kalau eek pasti suka senyum lebar tanpa dosa di deket pilar. Perasaan itu baru kemarin, sekarang dia udah segede ini." Oma berucap seraya menepuk-nepuk bokongku. Ya ampun, aku ini sudah besar dan memiliki privasi, mengapa dia masih saja suka melakukan ini.

"Sekarang udah gede, udah bisa nyusahin." Papi menjawab seraya terkekeh pelan. Namun, tidak denganku yang merasa tersinggung karena dibilang menyusahkan. Apa selama ini lelaki itu menganggap anaknya ini sebagai beban hidup?

"Beruntung Om Lingga enggak kirim lo ke panti asuhan." Nael malah meledek. Tenang, saat ini aku masih pura-pura tidur pulas agar tidak terlibat obrolan itu.

"Kapan kamu akan menikah lagi? Nanti kalau Guinan nikah pasti dia sibuk rawat istrinya. Kan enggak mungkin menantu perempuan yang rawat kamu."

Tunggu! Tunggu! Kenapa Oma menjadi tidak terkendali seperti itu setelah lama tidak bertemu.

"Aku mau fokus ke Guinan. Memastikan dia sukses itu jalan ninja baruku, Bu." Papi menjawab dengan sok gaul. Pakai segala jalan ninja, padahal anaknya diminta jadi OB kalau bekerja di kantornya. Mendadak emosi dan ingin kentut, sayangnya sedang dalam mode pura-pura tertidur.

"Nanti juga dia punya jalan dia sendiri buat sukses. Ini menyangkut kamu. Kamu masih muda, baru punya anak satu. Kamu enggak pengen ngasih Adik ke Guinan biar dia enggak kesepian?" Oma kembali membujuk dan itu membuatku tidak tahan.

Siapa bilang aku kesepian? Oma tidak tahu saja kalau cucunya yang paling tampan ini adalah anak indihome, maksudnya indikasi, bukan, indikator, individu. Sudahlah, mendadak lupa.

"Tapi, Bu–"

"Jangan sampai tuanya kayak Ibu, sendirian," potong Oma sebelum Papi menjawab.

Namun, mengapa terdengar ada penyesalan dari Oma karena sekarang menyendiri. Hei, apa dia menyesal tidak menikah lagi setelah ditinggal mendiang Opa?

Sabar Guinan, sepertinya Oma hanya kesepian. Akan tetapi, dia, kan, tinggal bersama Pakde dan cucunya yang lain. Bukankah yang lebih menyedihkan itu Papi yang hanya bersamaku.
Ngomong-ngomong, tumben Nael tidak menyela dan memarahiku karena menyebabkan Papi tidak menikah lagi.

"Aku belum mau memikirkan itu." Papi masih berusaha menolak pendapat Oma. Kupikir dia akan menerima tawaran Oma di belakangku, ternyata tidak. Namun, dia bilang 'belum mau memikirkan', apa artinya Papi memiliki niat untuk memikirkannya nanti? Tidak! Itu tidak boleh.

"Kamu, kan, masih muda. Apa mau Ibu cariin yang masih–"

"Aakk!" Aku sengaja berteriak karena sudah tidak tahan lagi mendengar Oma terus saja membahas wanita lain.

"Kamu kenapa, Guin?" Oma bertanya dengan wajah panik, begitu juga Papi.

"Guinan mimpi buruk." Ya Allah ampuni aku yang sedang berbohong.

Pingguin Anak Duda | ENDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora