42. Rumah Lain (PAD)

2.8K 813 62
                                    

Rumah Lain

"Guinaaan!" Suara wanita yang entah mengapa nyaring membuat aku terperanjat.

"Iya, Tante?!" Aku menyahut dan langsung beranjak dari kamar mandi.

Di meja makan, sudah ramai dengan tiga orang pemilik rumah. Tante Zamira, mamanya Nael, tengah menyiapkan nasi goreng yang kelihatannya lezat.

"Guinan, makan sini. Jangan di kamar mandi mulu, kelamaan mandi pamali." Om Yusron melambaikan tangan mengajakku makan bersama.

Aku kembali tidak pulang ke rumah untuk menenangkan diri. Meski telah mengirim pesan pada Papi agar tidak mencariku.

"Mandi kelamaan jadi kayak udon, ngembang." Gwen menyeletuk, membuatku terkekeh. Adik dari Nael lebih memiliki selera humor dibandingkan kakaknya yang sok dingin.

"Tante bikin nasi goreng, sekaligus kentang goreng. Kata Gwen kamu suka kentang goreng," ucap Tante Zamira memberi tahu.

"Makasih, Tante." Aku mengambil beberapa kentang goreng. Sudah lama sekali setelah kepergian Mami, aku tidak pernah merasakan kebersamaan keluarga seperti sekarang.

Mendadak teringat pada Papi, apa dia baik-baik saja di rumah sendiri? Bagaimana bisa aku menghabiskan waktu di rumah Nael yang ramai, sedangkan meninggalkan Papi sendiri dalam sepi. Seharusnya aku di sana menguatkan pria yang pasti sangat terluka dikhianati. Meski sampai saat ini aku masih belum percaya Mami melakukannya. Ah, mengingatnya membuat dadaku sakit, mata juga tidak dapat dikontrol karena mulai memanas. Akhir-akhir ini aku begitu cengeng.

"Enak enggak?" tanya Gwen membuatku mengangguk.

Aku tidak berani mengangkat kepala karena mata mulai meneteskan cairan bening sialan yang tidak dapat dibendung lagi. Parahnya lagi, aku tidak dapat menahan ingus yang keluar, sehingga harus mendengkus memasukannya.

"Kak?" Gadis di sebelahku memanggil.

"Hm?" Aku masih sibuk makan dan tidak lagi menutupi air mata yang memang sudah menetes.

"Kakak enggak apa-apa?" Gwen mengusap bahuku. Sungguh, hal itu semakin membuatku ingin menangis sejadi-jadinya.

"Nasi gorengnya enak. Selama setahun aku jarang makan seenak ini, kecuali pesen di restoran." Sekuat tenaga aku menjawab dengan lantang, meski sadar suara sedikit bergetar. Buru-buru aku mengusap wajah dari air mata, lalu melempar senyum pada orang-orang di meja.

"Nael pasti sering makan enak, makanya badannya berisi," tuturku membuat pemuda yang kusebut namanya muncul di seberang sana, tepat di belakang kursi papanya.

"Nael emang makannya banyak. Dia yang sering ngabisin nasi sama bakulnya," jawab Om Yusron, lalu tertawa.

"Pasti kalau waktunya makan, Nael yang paling cepet dateng ke meja?" tebakku membuat Nael beranjak menyentil telingaku.

"Iya, Kak. Mas Nael bahkan selalu ngambil lauk yang paling gede duluan." Gwen membenarkan, membuat Nael mulai menggerutu sendiri.

"Ternyata enggak hidup, enggak mati, tetap jadi bahan gibah," gerutu Nael disertai dengkusan kesal. Aku hanya dapat terkikik melihatnya marah, beruntung masih diingat oleh keluarga, walaupun gibah.

"Kalau kamu pengen nginep, jangan sungkan," kata Om Yusro terlihat tulus.

"Jangan, Pa. Dia itu pengecut yang selalu lari dari masalah!" teriak Nael tidak ada gunanya. Lagi pula, yang mendengarnya hanya aku saja.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now