BAB 7: Terjebak Nostalgia?

1 0 0
                                    

Keesokan harinya, pagi datang dengan hangat. Sayangnya, banyak tugas telah menyambutku.

Kadang hidup tentang bersiap, sebaik apa rencana yang kau buat, nyatanya bisa hancur begitu saja. Seperti tempo hari, aku telah merencanakan untuk fokus menyiapkan presentasiku minggu ini. Jadi, minggu depan aku bisa mengurus Resto dan melakukan rekrutmen. Sungguh ulah Cemani, aku harus kejar target semua minggu ini, karena ia akan mengajakku untuk keluar kota. Aku tak bisa menolaknya, sekalipun ia temanku, tapi atasanku juga. Sungguh dilema pertemanan.

"Nis bangun! Aku buatkan kau roti panggang." Wajah Dersik terlihat samar.

"pulang jam berapa kau semalam?" tanyaku sembari mengulet.

"tidak pulang."

"kau tidur dimana?" aku mulai membuka mata dengan jelas.

"tidak tidur."

"kau gila?"

"belum."

"kau sungguh maniak dunia malam."

"aku anggap ini pujian."

Itulah Dersik, dulu ketika masih SMA aku mengenalnya sebagai sosok yang jauh dari hal-hal ektrem. Walaupun, aku sudah menduganya, ia memang seperti menahan hasrat kebebasan sejak lama, hingga akhirnya datang waktunya untuk keluar dari kurungan penjara orang tuanya. Aku? Aku berusaha untuk mempertahankan logikaku. Bahwa pilihan hidup yang tepat, tidak akan menyusahkanku kedepannya.

Tak membuang waktu, aku segera menghabiskan roti buatan Dersik, meminum vitamin, dan lekas mandi. Aku bersiap dengan penuh semangat untuk memulai pembuatan sistem baru untuk Resto. Cafe adalah tempat tepat untukku mulai berpikir.

"aku pergi dulu ya!" pamitku.

"kau tidak kekantor?"

"setelah selesai, aku kesana."

"okay, hati-hati!"

Seperti biasa, mengendarai motor kesayanganku, beserta helm usang yang tertempel stiker bergambar kucing galau dibelakangnya. Sempat aku merasa tertekan dengan semua kesibukan yang aku miliki, tapi kali ini aku sungguh menikmatinya. Menyusuri jalanan kota yang padat dan ramai.

Aku menduga, semua ini berkaitan dengan Ijas. Aku tahu, aku salah membahasnya lagi. Namun, berkat padatnya kegiatanku, ingatanku tentangnya mulai memudar. Seolah semua memoriku dengannya, perlahan tersamarkan, walaupun tidak mungkin bisa hilang sepenuhnya.

Perkataan Cemani, tadi malam membuatku malah kembali galau. Ada perdebatan besar antara pikiran dan perasaanku. Apakah sikap "sok tegar" ku selama ini keliru? Menyibukkan diri dan bertindak seolah aku tak butuh cinta, sementara waktu. Padahal, cintaku belum kandas sepenuhnya, hanya butuh ketulusan lebih. Tulus untuk berusaha lebih keras memperbaiki semuanya. Tidak, aku sudah melakukannya dia awal, apa jadinya jika hanya aku disini yang bekerja keras? Ah sudahlah ini rumit, bertarung dengan ego.

Percakapanku dengan pikiran mengantarkanku sampai lebih cepat ke tujuan. Kafe yang sering aku kunjungi, karena memang tidak terlalu ramai. Tempatnya luas, banyak bangku yang tersedia, membuatku memiliki banyak ruang untuk tidak terlalu berinteraksi. Pagi hari, belum lama Kafe ini dibuka, mungkin aku pelanggan pertamanya, rencana yang sempurna.

"pagi kak, mau pesen apa?"

"ice matcha ya, less ice, less sugar." Pesanan yang sama, dimanapun.

"baik, mohon ditunggu ya kak."

Setelah menunggu beberapa lama, aku membayar matcha ku dengan tunai. Tubuhku pun bergerak otomatis, menuju tempat duduk favoritku di kafe itu. Saatnya memulai pekerjaan.

EGO CRUSHWhere stories live. Discover now