Bak ada petir menyambar dirinya, Addo tidak bisa berkutik. Semua perasaan bahagia yang beberapa menit lalu meluap-luap dalam dirinya sekarang runtuh, hilang tak berbekas. Addo menatap ayahnya getir, sama sekali tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Tubuh Addo sempat goyah karena syok. Tak berselang lama sampai mulutnya melontarkan kalimat yang masih menjadi pendiriannya, "Aku tidak mau punya papa lagi."

Greyson mencoba menjelaskan, "Sayang, Papa tahu dan Papa benar-benar minta maaf, tapi tolong kau dengarkan sebentar..."

"Aku tidak mau punya ayah selain kau!"

"Papa tidak bisa, Addo!"

"Aku memohon!"

"Tolonglah mengerti! Papa juga akan pergi ke alam sana nanti!" Greyson menatap lurus-lurus ke dalam mata Addo yang mulai berkaca-kaca. Kemarahan dan kekecewaan begitu jelas terpampang di wajahnya. Akan tetapi Greyson tidak peduli, dia harus tetap melanjutkan. "Papa tidak bisa tinggal bersama kalian selamanya."

"Bohong!" Addo berseru, mengambil langkah mundur. "Papa kira aku tidak tahu? Ada banyak hantu yang bisa hidup hingga ratusan bahkan ribuan tahun! Kalau mereka bisa, kenapa Papa tidak?!"

"Itu berarti kau membelenggu Papa di dunia nyata." Greyson menyembunyikan perasaan sedih luar biasa mendapati seperti itu reaksi anaknya. "Manusia dan malaikat bisa melakukan pembelengguan jiwa mati di dunia. Sebenarnya kami sendiri bisa melakukannya atas kemauan kami, dengan tujuan pribadi seperti ingin membalas dendam, atau hanya ingin menjaga seorang bayi hingga tumbuh dewasa—seperti aku."

Addo diam, tertegun mendengarkan.

"Tapi Sayang, percayakah kau kalau kami tidak bahagia dengan ini? Ya, kami tidak bahagia dengan kehidupan abadi. Kami hanya akan selamanya tinggal di bumi, tidak bisa bereinkarnasi untuk kehidupan selanjutnya. Tidak akan bisa. Kau pikir menyenangkan hidup sebagai hantu untuk waktu yang tak terbatas? Tidak, Addo, itu siksaan.

"Papa membuat perjanjian dengan para malaikat di hari kelahiranmu. Dan jika Papa tidak menepatinya, mereka akan memperlakukan pembelengguan abadi itu." Greyson mendekati Addo, sengaja berlutut untuk menyamakan tinggi mereka berdua—Greyson masih lebih tinggi daripada Addo, walau mereka berdua sama-sama 'remaja'.

Kedua tangan Greyson memegang masing-masing pundak Addo. "Dan... Apa kau juga menginginkan hal itu? Melihat Papa terbelenggu selamanya di dunia dan tak bahagia?"

Berselang keheningan yang lumayan lama sebelum Addo menggeleng pelan, masih mencoba menahan air matanya yang merebak setelah mendengar pertanyaan Greyson.

"Addo, biarpun nanti aku akan benar-benar tidak ada... setidaknya kau dan aku telah memiliki kenangan singkat bersama." Greyson melihat cairan bening itu akhirnya mengalir di pipi Addo. Dia menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata putranya.

"Papa..." Addo menghambur ke pelukan Greyson, menyembunyikan wajah di pundaknya. Tangan Greyson mengusap belakang kepala Addo hingga tengkuk leher, lalu ia mencium ubun-ubun putranya dalam waktu yang lama untuk yang pertama kalinya.

"Sudah ya, sudah, jangan menangis," Greyson mencoba melepaskan pelukan Addo, tapi tidak berhasil. Addo tetap memeluknya dan malah memeluknya lebih erat.

"Addo?"

"Just let me." gumamnya gemetar dalam sesenggukan.

"Aku mengerti. Tapi bagaimana jika ada yang lihat kau memeluk udara kosong?"

"Don't care."

Greyson tersenyum. "Kau ini."

"Aku merindukanmu..." gumamnya disela-sela sesenggukannya, "Aku merindukanmu di seumur hidupku. Dan sekarang Papa sudah mau pergi lagi?"

"Tidak sekarang, Addo. Masih tiga tahun lagi. Maka dari aku memutuskan untuk—"

Addo melepaskan pelukannya. Matanya merah sembab namun menatap Greyson tegas. "Apa ini artinya aku tidak punya pilihan?" tungkasnya.

"Pilihan?"

Addo mendesah. "Apa aku memang harus melepaskan Papa dari hidupku?"

"Dengar, aku ini sudah tidak ada. Aku sudah meninggal sedari kau belum lahir. Dan tidak ada yang bisa menghidupkan yang mati," jelas Greyson, mengakhirinya dengan ciuman di kening Addo. Tapi usahanya tidak terlalu banyak membuahkan hasil.

"Ini pertama kalinya aku punya papa." kata Addo, masih kecewa berat. Dalam hatinya dia ingin menjerit sekencang-kencangnya. Ingin melampiaskan semua kemarahannya, tapi tidak tahu harus melakukannya kepada siapa.

"Sebenarnya kau selalu punya papa, Sayang," ucap Greyson, meyakinkannya. Setelah itu hening kembali. Greyson membiarkan Addo menggunakan waktunya untuk menenangkan diri. Tidak perlu susah payah dijelaskan pun Greyson sudah tahu betapa kacaunya perasaan Addo. Pilihan yang telah ia buat memang tidak akan mudah untuk dijalani. Tidak untuk Pat, Addo, Hugo, bahkan juga dirinya sendiri.

Meski memang teorinya 'untuk kebaikan Addo', tapi kalau Greyson mau jujur, dia juga agak tidak rela. Salah satu ucapan Addo berhasil menusuk perasaannya, bagian yang  "Aku merindukanmu di seumur hidupku. Dan sekarang Papa sudah mau pergi lagi?" tapi mau bagaimana lagi? Greyson tidak punya pilihan. Dia tidak ingin selamanya terjebak di dunia, tapi juga tidak ingin berpisah dari Addo dan Pat. Greyson ingin bisa berlama-lama dengan keluarganya, melihat Addo lulus dari universitas bahkan sampai memiliki keluarganya sendiri. Tapi waktu Greyson terus berjalan, dan suatu hari nanti mereka akan terpisah juga, pada akhirnya.

Ayah dan anak tersebut memilih melanjutkan berjalan, mencari tempat yang lebih enak untuk diajak mengobrol. Begitulah singkat ceritanya Addo dan Greyson berakhir di bangku taman sekolah dan duduk berdampingan.

Begitu juga awal ceritanya bagaimana Addo akhirnya mulai memasuki sebuah kisah lama yang selama ini mati-matian dijaga sebagai rahasia darinya.

"Aku punya pertanyaan lagi... uh, kalau... kalau aku boleh menanyakannya?"

"Tentu saja, Sayang. Tanyakan saja. Tidak ada yang perlu aku tutupi lagi."

Bagus, pikir Addo. "Aku selalu mempertanyakan ini sejak kecil... Tentang kematian Papa... Apa alasannya?" []

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now