Chapter Empat Puluh

Start from the beginning
                                    

"Sini buku tugas lo, gue aja yang kumpulin biar sekalian. Kaki lo pasti sakit kalau buat jalan," tawar Elang dengan senyuman yang dibalas kekehan pelan oleh Mia.

"Ya elah, luka gini doang masih bisa buat jalan kali. Maraton dari Sabang sampai Merauke aja masih kuat."

Tak menerima penolakan, Elang merampas buku tugas di tangan Mia lalu membawanya ke meja guru. Begitu kembali, cowok itu tersenyum diiringi anggukan saat Mia mengucapkan terima kasih padanya.

"Ulangan minggu kemarin sudah selesai dikoreksi. Ibu heran, kalau ditanya paham atau belum, kalian jawab udah paham. Giliran ulangan ... kelas ini cuma satu yang nggak remidi."

"Gimana nggak remidi, waktu jelasin contoh soalnya gampang banget. Giliran ulangan susah, mana beda jauh lagi," gerutu Lia yang ditanggapi kekehan geli oleh Mia.

"Reandra Mia Esterina!"

Mendengar namanya disebut, Mia langsung bangkit dan maju untuk mengambil kertas ulangannya.

"Ibu bangga sekali sama perkembangan nilai kamu. Naiknya sedikit, tapi nggak pernah turun lagi. Pertahankan semangat belajarmu, kalau bisa ditingkatkan lagi. Sama satu lagi, kalau bisa pakai cara yang Ibu ajarkan."

"Siap, Bu!"

Mia tak bisa menahan senyum melihat angka 79 di sudut kanan kertas ulangannya. Bangga dengan pencapaiannya, ia pun menciumi nilai itu berkali-kali lalu didekap erat sembari dibawa ke tempat duduknya. Tidak sia-sia ia belajar bersama Akbar. Walaupun ya, ya, seperti itu.

"Kering tuh gigi nyengir mulu," ejek Lia.

"Selain Mia, silakan kerjakan soal di papan tulis untuk perbaikan nilai."

"Tenang, nanti gue bantuin yang bisa gue kerjain," ucap Mia pada Lia yang menghela napas melihat soal-soal yang tengah ditulis di papan tulis.

"Beneran loh, ya."

"Tapi nggak gratis, beliin telor gulung."

"Perhitungan banget sama temen."

"Ya gimana, ya. Gue dapet ilmunya juga nggak gratis."

Mia tidak berbohong, kan? Ia mendapat ilmu itu dari Akbar. Apapun yang menyangkut Akbar, mana ada yang gratis. Cowok itu selalu memanfaatkan dengan baik setiap ada peluang untuk menyerangnya.

"Iya, iya, telor gulung lima ribu."

Setelah mengacungkan ibu jari pada Lia, Mia mulai menyiapkan alat tulis. Ia pun ikut mengerjakan beberapa soal yang bisa ia kerjakan dan langsung dibagi pada Lia. Saat menoleh ke belakang dan melihat sahabatnya tengah kesusahan, Mia pun menyalin jawaban di kertas lain. Diremasnya kertas itu dan dilempar sengaja agar mengenai dahi Elang.
"Sama-sama, tapi nanti beliin gorengan ya," ucap Mia dengan suara lirih lalu kembali menghadap ke depan.

Untuk beberapa saat Elang hanya terdiam menatap kepala Mia yang mengangguk-angguk pelan. Kegiatan membenci Mia dengan mempertahankan senyum di wajahnya semakin sulit ia lakukan.

Sialan! Ia benci kebaikan dan ketulusan Mia yang membuatnya terombang-ambing.

***


Akbar melarangnya pulang bersama Elang, cowok itu yang akan menjemput. Sedang berkomitmen untuk mencoba berpacaran seperti orang-orang, Mia pun patuh walaupun jiwa bar-barnya memberontak ingin membuat Akbar marah.

Menunggu Akbar, Mia duduk di halte bersama beberapa cewek kelas lain.
Untung ia biasa bergaul dengan siapa saja, jadi waktu untuk menunggu Akbar tidak membosankan.

"Eh itu Akbar, kan? Gue baru pertama kali liat langsung, anjir! Lebih cakep aslinya daripada yang di foto."

Mendengar celetukan cewek di sebelahnya, Mia mengikuti arah pandang cewek itu. Benar. Cowok berstelan putih abu-abu rapi itu adalah Akbar. Ia pun mengangkat tangan, melambai dan berteriak memanggil Akbar yang tengah celingukan mencarinya. Tidak ada respons memang, tapi Mia yakin Akbar sudah tahu keberadaannya.

ToxicWhere stories live. Discover now