"Kalau boleh tahu, kenapa anda mencari buku yang sudah lama tidak dibaca?" selidik Terry berharap pria tua itu membagi kegelisahannya.

"Sepertinya aku melihat pola itu di tangan seseorang hari ini ... tapi aku butuh meyakinkan diriku sendiri karena—"

Martin menghela napas panjang. Ia tidak yakin dengan apa yang ingin ia katakan meskipun ia sudah sangat percaya pada Terry termasuk untuk berbagi kegelisahan atau kekhawatiran.

"Anda mengenal orang itu?" sahut Terry tanpa menunggu lanjutan penuturan Martin. Pria tua itu menghela napas dan memejamkan mata lalu mengangguk.

"Jika anda berada di kebun hari ini, itu berarti partner anda adalah .... "

"Benar."

Terry mengambil sebuah buku berwarna hitam usang dengan pinggiran berwarna hijau tua yang tak kalah kusam. Buku itu sedikit berat mengingat lebarnya lebih besar ketimbang buku-buku pada umumnya dan juga tebal. Pemuda berkacamata itu menyodorkan buku besar itu di hadapan Martin.

"Terima kasih."

"Apakah anda berpikir jika dia ada hubungannya dengan kasus anak-anak itu?" tanya Terry yang menyeret kursi kayu bundar ke dekat Martin.

"Aku tidak tahu, aku belum bisa menyimpulkan apapun." Suara Martin berhenti sebentar sebelum berucap kembali.

"Kenapa rasanya aku jadi tidak percaya dengan Sorcerer lain ...."

*****

Scarlea memeluk kedua lututnya sambil bersandar pada nakas di dekat ranjangnya. Lampu minyak yang ia gunakan tadi tergeletak tak jauh dari kakinya. Pandangan gadis itu menatap hambar lantai kayu kamarnya. Ia begitu bingung dan gusar dengan apa yang barusaja ia alami. Ia menoleh sebentar ke langit—melalui jendela kamarnya—yang sudah menunjukkan semburat kemerahan yang tenang.

'Tadi siang ... lalu sekarang tiba-tiba sudah sore. Selama itukah aku di dalam sana?'

Gadis itu sibuk dengan semua pikirannya hingga mengabaikan telapak kakinya yang lecet karena tergores kayu dan kerikil-kerikil kecil di hutan karena ia mengembara tanpa alas kaki.

Scarlea menghela napas dan melepaskan pelukan pada kedua lututnya lalu mencoba bangkit namun detik kemudian ia meringis merasakan perih menjalar di kakinya.

"Ish ... perihnya ..." gadis itu lanjut untuk segera bangkit mencari obat luka di kamarnya sambil menahan perih di kakinya. Ia pun meraih kotak yang menggantung di dekat mejanya lalu mengambil obat luka dan beberapa plester. Setelah membersihkan lukanya dan mengoleskan obat, ia pun menutup lukanya dengan plester. Lima plester sudah ia tempelkan, cukup banyak luka pikirnya tapi ia tak begitu peduli karena dengan begini ia bisa berjalan tanpa rasa perih.

Gadis itu menghentikan aktivitasnya lagi. Pikirannya masih terkunci pada kejadian aneh yang membawanya ke dalam hutan yang tidak ia kenali. Hutan yang memiliki waktu berbeda dengan waktu sesungguhnya.

"Dan bagaimana aku bisa tiba-tiba keluar tadi? Cahaya kuning yang muncul tadi sewarna dengan—" kedua netra gadis itu yang semula menatap lurus pun turun menatap sesuatu yang menggantung indah di lehernya. Batu berwarna kuning yang warnanya membuatnya tenang.

"Apa mungkin ... kalung ini?" tanyanya seraya melepas kalungnya dan memandangi bandul batu oval berwarna kuning yang di dalamnya terdapat corak coklat dan oranye. Sungguh indah pikirnya. Ia tidak salah memilih waktu itu. Gadis itu memandangi batu itu lamat-lamat menelisik apakah ada kemungkinan cahaya itu berasal dari sana.

Namun bagaimana caranya ia tahu jika cahaya itu berasal dari batu itu atau tidak? Bahkan ia sendiri pun tidak tahu bagaimana batu itu dibuat, yang ia tahu hanyalah batu itu berasal dari Dryatt.

NECROMANCER [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora