54 . No one can replace.

2.6K 318 41
                                    

Ini mungkin Akan jadi part ter-lebay, gapapa kok kalau kalian mau Komen "duh alay banget," HAHAHAH, tapi di part ini aku ingin menyinggung sedikit soal Maskulinitas, aku ingin menujukan bahwa, Rasa kehilangan, Rasa patah Hati yang di rasakan laki laki, atau Tangisan dari seorang lelaki bukan lah hal yang salah, Dan bukan suatu hal yang membuat lelaki itu menjadi lemah, that normal untuk lelaki mencurhakan isi hatinya, jadi, aku harap pembaca bisa suka dengan part terbarunya ya, maaf terlalu lama untuk update, happy Reading.

Part ini sudah di tulis 2 minggu yang lalu, tapi pas aku lihat ternyata aku lupa enggak pencet Publish HAHAHAH.

Pradikta menatap lemah pintu kamar inap sang mama, mulutnya Tak berhenti merapalkan doa apa saja yang muncul di kepalanya, beberapa manit yang lalu, saat ia sedang mengobrol dengan Abhi, Dan papa nya, mamanya tiba tiba mengalami kejang dengan nafas menderu.

Saat pintu di buka, papanya dengan cepat menghampiri para perawat dan dokter lalu merisak masuk kedalam kamar inap diikuti Pradikta dan Abhi yang berjalan di belakangnya, tubuh Pradikta melemas ketika matanya menatap seluruh tubuh mamanya telah di tutupi oleh Kain putih.

"Mohon maaf, kami tidak bisa berbuat banyak," Suara dokter menyadarkan Pradikta, tubuhnya mendadak lemas hingga ia harus merapat ke dinding untuk menahan bobot tubuhnya, papanya terisak, sedangkan Abhi hanya terdiam, terkejut dengan semua ini.

Pradikta menutup matanya ketika setetes air mata jatuh dari matanya, suaranya tercekat, seakan ada ribuan Batu yang menghimpitnya saat ini.

--

"Pradikta," suara lembut yang terdengar membuat Pradikta yang tengah duduk di depan ruangan mamanya buru buru menenggak, melihat Siska yang sedang berdiri di dekatnya dengan nafas yang Masih memburu Dan dengan keringat yang membasahi dahi wanita itu, Pradikta menatapnya sejenak, sebelum akhirnya wanita yang ia cintainya Itu maju dan memeluknya erat.

"Kamu boleh nangis, I'm here," ucapnya lembut membuat air mata yang di tahan Pradikta sekuat tenaga meluncur begitu saja.

Pradikta terisak, membuat Siska memeluknya semakin erat.

Suasana duka menyelimuti kediaman Pradikta, keluarga, kerabat Dan rekan kerja terus berdatangan untuk memberikan uncapan duka, begitu pun dengan Siska yang kini berdiri di depan kamar Pradikta dengan perasaan yang was was, seusai jenazah di mandikan Pradikta tidak keluar keluar dari dalam kamarnya membuat Siska merasa cemas dengan keadaan lelaki itu.

Siska mengetuk pintu kamar Pradikta pelan, namun Tak kunjung ada jawaban, membuatnya mencoba membuka pintu kamar Pradikta yang ternyata tidak terkunci, ketika Siska perlahan masuk kedalamnya ia melihat Pradikta tengah duduk diatas sajadah sembari merapalkan ayat suci yang ada di tangannya, dengan suara yang tersendat karna terisak.

Siska yang melihat itu, terdiam, ia memang belum pernah kehilangan orang tua, tapi ia bisa tahu bertapa hancurnya kita ketika orang yang amat sangat kita cintai pergi dari dunia ini.

Kondisi papanya Pradikta juga sama hancurnya, berkali kali pelayat di buat menangis dengan perlakuan papanya terhadap almarhumah, papa Pradikta tidak pernah berpindah posisi, ia selalu duduk di sebelah jenazah sambil membaca ayat suci, sesekali ia membuka wajah jenazah lalu menatapnya dalam sambil memuji bertapa cantiknya istrinya itu dengan mata memerah menahan isak tangis.

"Pradikta, papa kamu menyuruh aku untuk memanggil kamu, jenazahnya akan segera di kuburkan," suara Siska pelan, membuat suara lantunan ayat suci yang tengah Pradikta lantunkan terhenti sejenak.

I'm Not ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang