Chapter 23

191 36 4
                                    

"Sudah minum obatnya?"

Fiki menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, berkali-kali menggulingkan badan ke kiri dan ke kanan hingga selimut itu melilitnya.

"Fik, jawab!"

"Ck, udah kok." Pemuda itu menjawab malas.

"Sudah makan malam? Minum air? Harus yang banyak loh."

"Bang, lu berisik," timpal Fiki. "Ngapain sih malam-malam ke kamar gue?"

Shandy yang baru saja selesai memasukkan seluruh buku sesuai jadwal belajar Fiki besok ke dalam tas, menoleh lalu terkekeh.

"Kalau abang ga ke sini, siapa yang susun buku kamu buat besok?"

Shandy terduduk di pinggir ranjang Fiki, menarik pelan pemuda itu agar tertidur dengan posisi yang benar.

"Gue bisa, kali," ujar Fiki tak terima.

"Bisa doang tapi ga dilaksanain."

Fiki berdecak. Dia sudah kelas 1 SMA tapi perlakuan Shandy padanya tak pernah berubah.
Mulai dari menyusun jadwal belajar Fiki hingga membangunkan pemuda itu ketika pagi.

"Bang, gue udah SMA, loh."

"Ya terus?"

"Ngeselin lo!"

Shandy mengacak rambur Fiki gemas. Mau sebesar apapun pemuda itu, di mata Shandy ia tetap seorang bocah kesayangannya.

"Ngomong-ngomong, tadi pas Abang nyanyi di kafe, Nugro nanyain kamu." Shandy membuka topik yang membuat Fiki kembali membuka matanya padahal tadi hampir terlelap.

"Hah? Ngapain?"

"Dia butuh buat main gitar sih katanya."

"Bang, gue mau..."

"Udah abang bilang kalau kamu ga bisa. Lagian kan masih ada yang lebih bisa dari kamu, Fik." Shandy langsung membantah walau ia harus melihat wajah kecewa Fiki yang kentara.

Fiki ingin menjawab, tapi pemuda itu urungkan. Ia memang kesal, tapi ia tahu maksud Shandy menolak tawaran itu untuk kebaikannya.

"Fokus ke pendidikan dan kesehatan kamu dulu, ya, Fik." Menepuk-nepuk pundak Fiki, Shandy berusaha menenangkannya.

"Hm," deham Fiki.

"Yaudah, kalo gitu sekarang tidur, jangan begadang apalagi main hp!" Shandy memadamkan lampu kamar Fiki dan menyalakan lampu tidurnya. "Good night, Fik."

"Bang,"

Shandy berhenti melangkah. Ia memandang Fiki yang terlihat samar juga sedang memandangnya.

"Gue tahu siapa yang bisa lo ajak buat jadi gitaris."

Shandy mengerutkan keningnya, "Siapa?"

"Zweitson," jawab Fiki cepat. "Dia yang ngajarin gue main gitar."

***

Shandy mengacak-acak rambutnya. Duduk di rerumputan halaman rumah malam begini mungkin bisa menenangkan hatinya.

Sejauh apa jaraknya dengan Zweitson, hingga hobi dan kesukaan pemuda itu juga tak ia ketahui? Apa setebal itu kah tembok yang telah ia bangun dengan adiknya?

Dulu, jarak itu tak terlalu tampak. Ia dan Zweitson masih suka bersama. Namun, makin berjalannya waktu, kerenggangan itu mulai terlihat jelas.

Shandy bangun, berjalan masuk ke dalam rumah lalu menutup pintunya.

Ia berjalan menuju kamar Zweitson, memastikan adiknya itu sudah terlelap atau belum.

Tak Seiring (Slow update)Where stories live. Discover now