Apa harus hilang dahulu lalu rasa mulai muncul?
Dia sendiri. Tanpa genggaman tangan siapapun lagi. Membenci seluruh dunia yang tak menemaninya ketika malam. Namun, dia pemuda yang kuat. Dia tak suka balas dendam. Dia lebih suka memendam.
Lalu gadis...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pagi ini mendung, mulai gerimis ketika Fenly menginjakkan kaki di pintu gerbang sekolahnya. Hari ini ia datang pagi sekali. Bahkan belum banyak yang sudah berada di lingkungan sekolah.
Pemuda itu segera meletakkan tasnya di atas meja lalu memilih keluar untuk sekadar berjalan-jalan mengelilingi lapangan sekolah. Pandangannya menangkap seorang pemuda berkacamata yang berjalan di koridor kelas X.
"Soni!"
Pemuda berkacamata itu mendongak, lalu tersenyum seraya melambaikan tangan pada Fenly yang mendekatinya.
"Pagi banget datangnya." Fenly merangkul pemuda itu lalu berjalan bersamanya menusuri koridor.
Fenly diam, kembali mengingat perkataan Fiki semalam padanya. Apa Zweitson tahu sesuatu?
"Fiki sakit apa?"
"Kayaknya masuk angin deh. Kemarin malam dia keluar gatau kemana, emang bandel banget. Bangsen sampai pusing nyariin. Dia baru pulang jam setengah dua belas malam."
"Setengah dua belas?"
Fenly kaget. Setaunya, semalam Fiki pamit pulang padanya sekitar pukul sepuluh tapi Zweitson bilang dia baru sampai ke rumah tengah malam?
Ah, niat Fenly untuk menanyakan tentang Fiki yang berkata aneh kemarin jadi ia urungkan. Sepertinya Zweitson juga tak tahu apa-apa.
"Cepat sembuh ya buat Fiki," ujar Fenly akhirnya.
Zweitson mengangguk. "Iya, Kak."
***
"Sudah stadium 3."
Pria berjas putih di depan Shandy melepas kacamatanya.
"Dia tidak menjaga pola makannya secara teratur, ya?"
Shandy menghela napas pelan.
"Kalau begini terus, Fiki tidak bisa membaik. Kontrol makanannya. Usahakan dia diet protein, sering minum air putih, jangan kelelahan, dan minum obat teratur."
Pria itu menuliskan resep lalu menyerahkannya pada Shandy.
"Mulai sekarang, Fiki harus kontrol rutin sekali dua minggu."
Shandy mengangguk pasrah. Raut wajahnya tampak sangat menyedihkan. Matanya hitam karena tak dapat tidur kemarin malam.
"Apa Fiki bisa sembuh, Dok?" cemas terlihat kentara di wajah anak sulung yang kini berharap cemas dengan jawaban dokter di hadapannya.