{14} Rahasia Chandra

55 13 15
                                    

Chandra terkejut ketika mendapati Maya berdiri di teras rumahnya. Padahal ia tadi hanya sekilas memikirkan saja, tidak sampai berharap Maya akan benar-benar hadir di hadapannya. Chandra jadi merinding. Bahkan tidak butuh 24 jam untuk Tuhan merealisasikan sesuatu yang terlintas dalam pikiran makhluk-Nya.

"Hai, Mas," sapa Maya. "Gimana keadaan Mas Chandra? Udah baikan?"

Chandra geragapan. "S-saya udah nggak apa-apa, kok," jawabnya. "Kamu ada perlu apa ke sini?"

"Mau jenguk Mas Chandra. Nih, saya bawain makanan." Maya mengangkat tas kain bergambar logo salah satu minimarket yang tampak berat dan penuh, sampai harus memberdayakan kedua tangannya.

Sesaat Chandra dibuatnya bengong, tetapi segera tersadar mengingat mereka masih berdiri di ambang pintu. "Masuk dulu, yuk!" ajaknya. Ia tetap membiarkan pintu terbuka bahkan setelah Maya masuk ke ruang tamu.

"Umm, May ...." Chandra menjeda kalimatnya. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal dan menatap Maya dengan canggung.

"Iya, Mas?"

"Kamu tunggu di sini dulu, ya. Saya tinggal mandi bentar, nggak apa-apa, ya?"

Maya tertawa kecil menanggapi kalimat Chandra. "Boleh, Mas, silakan."

Chandra tidak menyahut lagi, lekas-lekas ia masuk ke dalam. Selain terkejut, ia juga gelisah karena Maya datang di waktu yang kurang tepat, saat dirinya baru bangun tidur, hanya mengenakan kaus lusuh dan celana pendek, dan belum mandi pula. Luruh sudah citranya sebagai atasan karismatik yang ia tampilkan selama ini.

Sepeninggal Chandra, Maya memilih untuk melihat-lihat isi ruang tamu bosnya yang cukup menarik. Tadinya ia berpikir untuk duduk saja dan bermain ponsel sambil menunggu Chandra selesai mandi, tetapi benda-benda di sekelilingnya lebih atraktif, seperti sengaja diletakkan di tempat itu untuk menarik perhatian orang yang bertamu.

Ruang tamu Chandra tak terlalu luas. Tidak ada kursi, melainkan karpet berbahan rasfur menjadi alas sebagai gantinya. Sebuah meja kayu bundar diletakkan di tengah-tengah, dilengkapi beberapa buah bantal persegi mengelilinginya. Menempel pada salah satu sisi dinding, beberapa rak buku dari kayu disejajarkan menjadi satu, menutupi setengah bagian dinding tersebut. Di sisi lainnya dibiarkan kosong, hanya ada jam dinding di atas pintu. Ruang tamu ini rupanya merangkap sebagai ruang baca.

Maya menyisir barisan buku di rak yang sebagian besar berbahasa Inggris. Berbagai judul buku fiksi dan non-fiksi diklasifikasikan sesuai nama penulisnya. Buku serial disusun khusus sesuai urutannya. Sebagian judul sudah Maya kenal, sebagian lainnya masih asing. Ia membaca satu per satu judul buku fiksi, mencari-cari jika saja ada buku yang menarik minatnya.

Perhatiannya jatuh pada sebuah buku yang sempat membuatnya penasaran, Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Diambilnya buku itu, detik berikutnya wajahnya berubah masam. "Yah, versi bahasa Inggris." Maya mendesah kecewa, tetapi tetap ia pegang buku itu sambil terus menyisir seluruh isi rak hingga netranya menangkap sesuatu yang lebih menarik dari rak lainnya yang terletak di sudut.

"Wah!" Maya berdecak kagum. Matanya menelusuri setiap ruang pada rak itu yang berisi action figure dari beberapa karakter film yang Maya tahu. Karakter One Piece berbaur dengan Kura-Kura Ninja di rak paling atas, kemudian karakter dari dunia sihir milik J.K Rowling hidup akur bersama para Hobbit dan teman-temannya di rak kedua, rak ketiga diisi oleh penduduk galaksi dari film Star Wars yang berkolaborasi dengan superhero Marvel, rak paling bawah disesaki robot Transformers, Gundam, serta die cast beberapa jenis kendaraan berbaris di depan robot-robot itu. Mainan-mainan tersebut ditata sedemikian rupa membentuk sebuah diorama.

Maya berdecak sekali lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ck! Berapa duit yang Mas Chandra habiskan buat ini semua?" gumamnya pada diri sendiri.

DILEMAYA [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now