{11} 2 Days 1 Night

56 13 10
                                    

Menjelang jam makan malam, Chandra beserta penghuni Sudut Jalan lainnya mendatangi restoran yang tersedia. Sayangnya, makan malam tidak disediakan dalam bentuk prasmanan, membuat Buyung dan Hans mendesah kecewa karena porsi makanan yang terhidang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan lambung mereka.

Akhirnya satu porsi sop buntut lengkap dengan nasi putih menjadi pilihan keduanya, plus satu porsi tambahan mi ayam tanpa kuah. Maklum, mereka terbiasa makan di warung atau pedagang kaki lima yang porsi nasinya dua banding satu dengan porsi lauknya. Awalnya mereka menolak, merasa tidak enak karena Chandra harus mengeluarkan biaya tambahan, tetapi Chandra malah mengancam tidak mau bertanggung jawab jika mereka kelaparan tengah malam, akhirnya keduanya terpaksa menerima dengan senang hati.

Ponsel Jessi berdering singkat tepat sebelum mereka menyantap makan malam. Sebuah notifikasi pesan dari aplikasi obrolan muncul di layarnya. Melihat nama yang tertera, lekas-lekas Jessi membuka pesannya. Pesan yang singkat, tetapi berhasil membuatnya gelisah.

Jessi melirik ke arah Chandra yang lanjut menyuapkan nasinya, ponselnya digenggam sangat erat seolah takut akan ada tangan-tangan yang merebut benda itu darinya.

"Umm, Pak Chandra," panggil Jessi dengan suara pelan.

"Hm? Apa, Jes?" Chandra menyahut tanpa mengalihkan atensi dari makanannya.

"Pak, kalau misal ada temen yang nyusul ke sini, boleh nggak?" Suara Jessi masih sangat pelan dan terdengar takut.

Chandra mendongak untuk melihat ke arah Jessi. "Temen kamu?"

"Umm ...," Jessi mengulum kata-katanya, sepasang matanya bergerak-gerak ke segala arah demi menghindari tatapan Chandra. "Ya, bisa dibilang begitu, Pak."

"Kamu janjian sama temen kamu?"

"Ng-nggak, kok, Pak. Itu ... anu ...,"

"Apa, sih, Jes?" Buyung menyela tak sabar. "Tinggal jawab aja, apa susahnya, sih?"

Jessi menoleh pada Buyung, menghunjamkan tatapan galak pada temannya itu.

"Umm, itu, Pak ...,"

"Halo, everyone, I'm coming!" Sebuah seruan muncul dari keremangan, disusul derap langkah yang bergerak cepat dan membawa sesosok lelaki dengan tinggi 180 cm berdiri di hadapan mereka dengan ransel menggantung di pundak kanannya dan senyum lebar yang memamerkan gigi-gigi putihnya.

"Juna?" Maya yang bersuara pertama kali setelah menyadari sosok yang baru muncul itu. Bukannya yang lain tidak mengenali, mereka hanya terlalu terkejut sampai lupa menyambut kedatangan anggota baru.

"Hai, May!" sapa Juna seraya melambai singkat pada Maya.

"Jessi," panggil Chandra. "Jadi, temen yang kamu maksud itu Juna?"

Jessi tidak menyahut, ia hanya menganggukkan kepalanya yang semakin tertunduk dalam, nyaris menyentuh piringnya.

"Jessi belum bilang?" Juna bertanya.

"Mau bilang, sih, tapi kamu keburu muncul. Gimana kamu bisa sampai sini, Jun?"

Juna menarik sebuah kursi kosong di antara Chandra dan Maya, meletakkan ranselnya di lantai, lalu mengempaskan pantatnya di kursi tadi. "Tadi aku lihat postingan Jessi, Mas. Aku tanya dia lagi di mana, pas aku tahu kalian di sini, ya udah aku susul aja."

"Maaf, Jun, bukannya nggak mau ngajak kamu, tapi, kan, kamu lagi ada kerjaan."

"Nggak apa-apa, Mas. Aku nyusul karena besok weekend. Mas Chandra nggak perlu khawatir, aku nggak makan gaji buta, kok, renovasi Sudut Jalan sudah delapan puluh persen."

DILEMAYA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang