{9} Deep Conversation

50 14 3
                                    

Langit kehitaman menaungi kendaraan yang bergerak memadati jalan raya. Titik-titik cahaya berpendar dari penerangan jalan dan lampu-lampu pertokoan. Suzuki Baleno berwarna Metallic Premium Silver yang dikendarai Juna turut mengambil bagian dari kepadatan lalu lintas itu. Mobil itu melaju tenang, bahkan beberapa kali memberi celah untuk lawannya menyalip.

Di dalamnya, samar-samar terdengar suara Maya bersenandung kecil mengikuti vokal Taylor Swift. Matanya memperhatikan setiap hal yang ia temui sepanjang perjalanan pulang dari pantai, merekam yang menurutnya menarik dan melewati yang menurutnya tidak penting. Netranya melebar saat menangkap sebuah iklan di papan reklame raksasa yang berdiri gagah melintang di atas jalan tanpa kakinya menyentuh aspal. Gambar seorang selebriti dengan kostum karnaval memenuhi setengah bagian dari papan itu, sisanya berisi tulisan 'Jember Fashion Carnival' lengkap dengan logo dan segala informasi yang berkaitan dengan acara tersebut.

"Wah, pesta akbar mau dimulai," komentar Maya tanpa mengalihkan atensi dari papan itu, membuat Juna yang duduk di kursi kemudi ikut melongok sekilas.

"Mau nonton?" tanya Juna tanpa menoleh pada Maya. Dia sedang fokus mencari celah untuk melewati pengendara motor di depannya yang tidak jelas mau ke arah mana, lampu seinnya mengarah ke kanan, tetapi posisi motor masih di lajur kiri.

"Nggak mau kalau desak-desakan. Tapi kalau ada yang ngasih aku tiket VIP gratis, aku mau."

Juna memutar bola matanya menanggapi jawaban Maya. "Hm, masih aja suka yang gratis."

"Kalau masih ada yang gratis, ngapain harus ngeluarin duit sendiri?"

Juna tak merespons lagi, ia memilih fokus mengendarai mobilnya. Keluar dari pusat kota, jalanan lebih lengang dan lebih gelap karena penerangan berkurang.

"Kita mau ke mana, Jun?" tanya Maya menyadari rute yang dilewati Juna bukanlah jalan pulang ke tempat kosnya.

"Kita makan malam dulu, ya, sekalian."

"Di mana? Jauh banget."

"Udah, kamu ikut aja."

Maya menurut. Selama Juna memperlakukannya dengan baik, ia ikut saja ke mana lelaki itu membawanya. Malah Maya mau berterima kasih karena Juna mengajaknya makan malam, jadi ia bisa langsung tidur sesampainya di kos nanti tanpa diliputi dilema mau makan apa malam ini.

Mobil Juna meninggalkan jalan utama dan memasuki jalanan yang situasinya lebih lengang dan minim pencahayaan. Jalanan naik dan berkelok membawa mereka ke dataran yang lebih tinggi. Mobil itu melambat di dekat sebuah rumah makan yang hanya memiliki satu ruang terbuka berupa balai bambu dengan meja-meja kecil yang ditata rapi tanpa kursi.

Mata Maya melebar, tentu ia kenal tempat ini. Tempat favoritnya yang ia sebut bukit bintang, karena dari atas sini ia bisa melihat titik-titik cahaya lampu kota berbaris membentuk garis keemasan. Jika Juna memang sengaja merencanakan ini, maka ia berhasil membawa Maya terjebak nostalgia.

Dari kursi kemudi, Juna mengitarkan pandangannya ke sekitar, mencari lahan parkir untuk mobilnya. "Duh, tahu gini, tadi kita naik motor aja, ya," keluhnya saat tak juga menemukan ruang yang pas untuk memarkir mobilnya.

"Aku pilih naik mobil aja," sahut Maya.

"Wah, udah naik, ya, standar kamu?" balas Juna dengan sindiran halus.

"Bukan gitu, karena mobil ruangnya lebih luas. Jadi, nggak ada alasan kita nggak sengaja dempetan karena kamu ngerem mendadak." Maya mengutarakan setiap kata dalam kalimatnya dengan penuh penekanan.

Juna menanggapi dengan tawa dan berkilah, "Ya ampun, May. Ngerem mendadak itu bukan disengaja, lho. Emang kebetulan di jalan ada sesuatu yang bikin aku harus melakukan itu."

DILEMAYA [Sudah Terbit]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin