eleven

539 506 142
                                    

Walaupun kebanyakan orang lain tak begitu, namun Zee selalu sadar akan rutinitas kecil yang terjadi di lingkungannya. Terutama saat sepulang sekolah. Karena ia selalu pulang dengan berjalan kaki, maka ia bisa dengan leluasa membiarkan mata kecilnya menjelajah. Satpam yang sibuk mengurusi anak nakal, pasangan sejoli yang dijuluki 'couple goals' di sekolah yang biasa duduk berdua di bawah pohon di ujung jalan untuk menghabiskan waktu berdua, sampai orang gila yang biasa berjalan-jalan di depan gang menuju rumahnya. Namun hari ini ada satu rutinitas yang tak terjadi. Biasanya jika itu terjadi, Zee akan mengumpat dalam hati dan berdoa agar cepat-cepat sampai rumah, namun entah kenapa justru sekarang ia malah khawatir. 

"Zee," 

Ah, itu dia. Satu rutinitas yang sudah Zee tunggu-tunggu sedari tadi. 

Zee sudah hampir sampai rumah saat seseorang memanggilnya. Ia menghela napas, mencoba untuk terlihat kesal. 

"Apa kabar?" Kata orang itu. 

"Kabar baik, Iky," jawab Zee ogah-ogahan. 

Muhammad Rizky Gunawan. Zee mengenalnya sejak hari pertama masuk SMP. Dulu ia, Sabrina, dan Iky satu kelas. Sekarang mereka sudah tak sekelas. Iky memutuskan untuk masuk jurusan IPS. Walaupun Iky sebenarnya baik, tapi Zee tak pernah begitu menyukainya. Mungkin karena Iky yang terlalu berisik. Tipe berisik yang berbeda dari Sabrina. 

Iky juga tetangga Zee. Rumah Zee berada tepat di pertigaan, sedangkan rumah Iky berada di sisi sebelah kanan pertigaan jika dilihat dari rumah Zee. Memiliki rumah yang dekat membuat mereka biasa bertemu. Secara tidak sengaja atau sengaja. Zee tak pernah sengaja ingin berpapasan dengan Iky, sedangkan Iky yang biasa duduk di depan rumahnya sambil merokok dan mengawasi burung ayahnya, sengaja ingin berpapasan dengan Zee. Iky tak punya begitu banyak teman di sekolah. Teman-temannya kebanyakan dari sekitar rumahnya. Itulah alasan kenapa ia tak pernah betah di sekolah. 

Iky adalah lelaki muda dengan tubuh kurus dan kulit coklat gelap akibat terbakar sinar matahari siang hari. Sebetulnya menurut Zee, Iky tidaklah buruk rupa, dan ia sebenarnya mempunyai wajah yang berpotensi untuk menjadi tampan, namun dengan raut wajah yang sering tersenyum cengengesan dan baju yang acak-acakan, Zee tak pernah menganggapnya serius. Seperti sekarang ini, ia memakai celana jeans pendek robek-robek--bukan karena gaya tapi karena memang sudah rusak--, kaos lengan pendek berwarna ungu tua seperti terong yang mengkerut, topi hitam berdebu, dan kacamata bulat hitam dengan bingkai berwarna pink yang terlalu kecil untuk wajahnya. 

Zee berhenti sebentar. "Tunggu, kau tidak sekolah hari ini." Ia lalu lanjut berjalan lagi. 

"Apakah itu sebuah pertanyaan?"

"Tidak."

Iky mengangguk. "Ya. Aku telat bangun."

"Dan orangtuamu membiarkanmu bolos sekolah?" Tanya Zee dengan senyum sarkas. 

"Ya."

"Demi Tuhan, Iky," Zee tertawa kecil. "Kau harus lebih pintar berbohong dari itu."

"Oke, baiklah. Aku berbohong. Lalu kenapa? Setiap orang pernah berbohong."

"Ya, tapi tak ada yang sebodoh kau."

"Mungkin kau yang terlalu pintar."

"Ayolah, bahkan anak kecil yang baru bisa membaca pun tahu kapan kau berbohong."

Between The Gray LinesWhere stories live. Discover now