42 - Pranadipa

398 59 9
                                    

Hari ini Jae pergi ke rumah sakit berdua dengan Jean. Selama beberapa minggu belakangan, Jean baru sekali datang menjenguk Herga dan saat itu Ia juga datang bersama dengan Jae. Jian sudah memasuki waktu sibuknya karena jam pelajaran tambahan yang harus Ia ikuti di sekolah. Juan sangat sibuk dengan kegiatan di kampus serta kerja paruh waktunya yang tidak bisa Ia tinggali. Jean tidak berani jika harus datang ke rumah sakit sendiri. Tersimpan banyak kenangan menyakitkan tentang Bunda di tiap sudut rumah sakit. Hal itu membuat Jean terbayang akan sosoknya. Dan karena itu Ia merasa ragu jika harus menginjakkan kaki di rumah sakit sendiri.

Untungnya Jae bisa memahami perasaan Jean. Makanya Ia selalu menemani Jean tiap kali anak itu ingin membesuk Herga di rumah sakit.

Setiap kali Jae menemani Herga di sepanjang malam, Jae selalu merasa tidak tenang. Melihat Herga terbaring dengan keadaan lemah menimbulkan rasa sesak dalam dadanya. Suasana senyap dan sepi rumah sakit juga membuatnya selalu merasa gelisah. Jae sangat mengenal Herga. Biasanya Ia melihat Herga dengan senyum ceria dan gelak tawa bahagia, sementara sekarang, Herga terlihat tidak berdaya. Bahkan Jae masih merasa sulit untuk percaya bahwa apa yang menimpa Herga benar-benar nyata.

Saat Jean dan Jae sampai di depan ruangan Herga, Aska baru saja keluar dari sana. Mereka akhirnya memilih untuk duduk di bangku panjang yang berada di lorong.

"Haivan mana?"

"Belum pulang. Nanti dia dijemput sama Juan."

Jean terperangah. "Loh, Bang Juan gak pergi ke tempat kerjanya?"

"Katanya hari ini dia izin gak kerja dulu. Emang dia gak bilang sama lo?"

"Bang Juan gak bilang apa-apa."

"Mungkin belum sempat bilang sama lo, kali." Jae menimpali. Ia lantas kembali beralih pada Aska. "Lo nanti malam juga stay di sini, kan?"

"Iya. Nanti malam gue sama Juan yang jagain Herga dan temenin Tante Kalina di sini."

Jae mengangguk paham.

"Tadi Yoshi juga sempat ke sini."

"Oh, iya? Sendirian?"

"Iya. Dia tadi cuma liat Herga dan ngobrol sebentar sama Tante Kalina. Terus pergi ke kampus lagi."

"Kirain sama si Mario."

"Kalian berdua kenal juga sama temannya Bang Herga?"

Aska langsung menatap Jean. "Kenapa emang?"

"Gak apa-apa. Nanya aja."

"Mereka berdua pernah berteman sama Herga dan sekarang mereka juga berteman baik sama Haivan."

"Gimana pun juga Haivan percaya sama Yoshi dan Mario. Di luar apa yang terjadi antara Herga, Yoshi, dan Mario dulu, masalah itu gak ada kaitannya sama Haivan. Dan karena itu kita berusaha untuk ngerti. Haivan juga adiknya Herga. Dia punya hak untuk larang dan izinin siapa pun yang jenguk Herga."

Jean manggut-manggut. "Kirain kalian bakalan gak suka sama mereka, karena masalahnya sama Bang Herga."

"Emangnya kita anak kecil kalo satu berantem semua juga harus berantem? Bukan, kan?"

"Tau. Emangnya kita kayak lo!"

"Kayak gue apa maksudnya?!"

"Masih bocah."

"Gue udah dewasa, loh! Udah pernah bonyokin orang juga!"

Aska mendelik. "Kalo pernah bonyokin orang bukan dewasa, tapi kayak preman namanya!"

"Gue bukan preman!"

"Tapi lo bikin orang bonyok!"

"Kalian tuh kebanyakan dengerin omongan Bang Juan atau kena hoax dari Bang Jian. Kalo dengerin cerita jangan dari satu pihak doang, dong! Mereka berdua tuh sekongkol mau jelek-jelekkin gue!"

The Dandelion'sWhere stories live. Discover now