12 - Yours

470 86 0
                                    

Saat memutuskan untuk meninggalkan Juan, Jean tidak benar-benar pergi. Cowok itu bersandar pada tembok di sisi gerbang. Matanya terpejam. Berusaha meminimalisir gemuruh dalam dadanya. Sore ini Ia tidak pernah menduga akan bertemu Juan di rumah. Setelah Juan pergi dari rumah dua tahun yang lalu, Ia tidak pernah lagi menunjukkan wajahnya. Rumah yang dulu menjadi tempat Juan tinggal dan hidup, kini menjadi hal yang paling Ia hindari.

Jean masih ingat, ketika dulu Jian bersusah payah mencari kemana Juan pergi. Kakaknya bahkan berkali-kali mencoba menghubungi orang-orang terdekat Juan untuk menanyakan dimana keberadaan Juan. Jian bahkan hampir setiap hari mendatangi sekolah dan juga tempat-tempat yang sering Juan kunjungi demi menemui kakaknya. Masih teringat jelas bagi Jean, bagaimana pasrahnya Jian saat semua upaya yang Ia lakukan untuk mencari kakaknya berujung sia-sia.

Jean tidak akan lupa bagaimana raut kecewa Jian begitu Ia menyadari bahwa sampai kapanpun Juan tidak akan pernah kembali.

Tanpa sadar, air mata yang dari tadi tertahan mengalir dengan deras. Sejak awal Ia melihat Juan di rumah, sejujurnya Jean tidak bisa menahan tangis. Di satu sisi Ia merasa marah terhadap Juan yang dengan berani menunjukkan wajah setelah semua hal yang sudah Ia lakukan dulu, tetapi di sisi lain Jean tidak bisa membohongi hatinya bahwa Ia sangat merindukan Juan. Melihat bagaimana Juan berdiri dan menatapnya membuat hatinya sesak. Setelah dua tahun berlalu, Jean sadar bahwa tatapan Juan tidak pernah berubah.

Tetapi Ia benci dengan Juan.

Jean benci terhadap cowok itu karena Ia tidak bisa melupakan fakta bahwa dua tahun yang lalu Juan meninggalkannya sendirian.

Cowok itu terisak. Lantas memutuskan untuk berlari menuju ke dalam rumah. Ayah belum pulang dari tempatnya bekerja, sementara Jian berada di kamarnya. Tidak heran saat Jean tiba di dalam, Ia langsung disambut oleh keheningan. Cowok itu buru-buru menyusuri tangga untuk menuju ke lantai dua tempat di mana kamarnya berada.

Jean dengan cepat membuka pintu dan menutupnya dengan bantingan keras. Tangannya meraih kunci yang tergantung pada knop pintu dan memutarnya dua kali agar pintu kamarnya terkunci. Jean melepaskan tasnya, lalu membantingnya ke sembarang arah. Kakinya berjalan mendekat pada kasur dan terduduk sambil bersandar pada salah satu sisinya.

Harus berapa luka lagi yang mesti Jean terima sepanjang hidupnya? Rasanya hidup begitu kejam menorehkan banyak rasa sakit tanpa memberinya kesempatan untuk kembali bangkit.

Sampai kapan Jean merasakan ini semua?

Harus bertahan sejauh mana agar Jean bisa kembali bahagia?

Bunda telah pergi meninggalkan Jean untuk selamanya. Ayah yang seharusnya selalu ada di sisinya, kini menjadi sosok yang turut membuat Jean kecewa. Juan yang diharapkan selalu menemaninya, justru malah menambah luka dalam hidupnya. Ia memiliki Jian, namun Ia mengerti jika Jian juga menyimpan rasa sakit dalam hatinya.

Mereka berdua terluka karena alasan yang sama.

Jean tidak mau bergantung dengan Jian karena Ia hanya akan menambah beban cowok itu. Selama ini Jian sudah menerima banyak kecewa karena usaha yang Ia lakukan dulu berakhir sia-sia. Dan Jean tidak mau jika kehadirannya hanya membuat Jian susah.

Aku kangen Bunda.

Bunda kenapa harus pergi lebih dulu? Aku bener-bener capek hidup begini. Aku butuh Bunda. Aku mau Bunda kembali hadir di hidup aku.

Jean memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Bahunya bergetar karena isak tangisnya. Hari ini, entah jadi kali ke berapa Jean kembali menangis sendirian. Meratapi hidupnya sambil merindukan Bunda. Ia selalu berharap bahwa hidupnya sekarang adalah sebuah mimpi buruk yang panjang. Dan saat Ia terbangun, Ia akan melihat Bunda berada sisinya. Memeluknya dengan dekapan hangat sambil mengusap lembut kepalanya.

The Dandelion'sDove le storie prendono vita. Scoprilo ora