Tentang Luka

23 6 7
                                    

~*~

“Tapi non, kenapa bisa ada obat tidur di sini? Mana dosisnya tinggi lagi.”

“Mmm... itu bi, Yejin akhir-akhir ini banyak pikiran, tugas sekolah makin banyak jadi sering kesusahan buat tidur. Makanya aku beli buat bantu biar tidurnya cepet”

“Bener non?”

“Iya bener bi. Jangan bilang mama ya, nanti mama khawatir.”

“Mmm... iya non” Nami tampak ragu.

“Janji ya bi, jangan bilang mama?” Yejin memastikan.

“Iya, bibi janji”

“Ya udah non. Kalo gitu bibi mau lanjut kerja.”

“Iya bi, makasih ya bi.”

“Sama-sama non.”

Nami melanjutkan pekerjaan membersihkan kamar Yejin, setelahnya ia pun pamit dan berlalu meninggalkan tuannya. Sejujurnya Nami masih ragu dengan pernyataan Yejin. Ia menyadari ada hal yang aneh pada Yejin, namun untuk saat ini ia bencoba untuk percaya. Barangkali apa yang dikatakan Yejin memang benar. Tak mau berburuk sangka lebih lama ia pun kembali fokus pada pekerjaannya.

Seri sudah sejak tadi tidak ada di rumah. Begitu sampai di depan pintu rumah untuk mengantar kedua anaknya, ia pun memutuskan untuk langsung pergi ke tempat kerja. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00, jadi ia harus bergegas agar tidak terlambat karena jam opersionalnya sekitar pukul 12.45.

Saat ini Yejin masih ketar-ketir di kamar, ia sangat ceroboh meletakkan obat tidur itu di atas meja riasnya karena buru-buru berangkat untuk pergi ke pantai. Ia lupa untuk membawa obat itu kemana pun ia pergi atau minimal menyimpannya di tempat yang tidak akan dijangkau siapapun.

Yejin sangat takut jika nanti Nami tidak sengaja memberitahukan hal ini pada Seri. Sebenarnya hampir satu bulan ini ia secara rutin mengkonsumsi obat tidur. Meski Yejin tampak tegar dan selalu mampu menghadapi semua hal buruk menimpanya, siapa sangka jika ia menjadi gadis yang lemah di malam hari? Bahkan, ia bisa meminum dua sampai tiga obat itu sekaligus jika malamnya pikirannya benar-benar kacau.

Di sekolah mungkin Yejin masih bisa cuek dengan perlakuan buruk teman-temannya, bahkan hampir tidak ada air mata ia tumpahkan lagi sejak Irene dan gengnya terus-terusan merundungnya. Ia juga tertawa bahagia di depan ibu dan adiknya. Tapi, saat ia sedang sendiri? Siapa yang tahu jika di dalam ia perlahan hancur.

Siapa yang mengerti ia menangis dalam diam? Siapa yang bisa mendengar isaknya yang tertahan. Batinnya yang terus berteriak stop! Siapa yang mendengar dan memahami itu semua? Ia ingin mengadu pada Seri, tapi ia juga sadar beban ibunya jauh lebih banyak dari yang selama ini ia tanggung.

Mengadu pada Haechan? Ia benar. Yejin pernah sekali curhat tentang kehidupannya di sekolah pada adiknya itu. Ia bercerita sangat panjang karena tahu adiknya tidak akan pernah bisa mengerti keadaannya. Meski demikian, setidaknya itu membuatnya sedikit lega.

Yejin memutuskan untuk menggunakan obat tidur karena ia tidak tahan dengan isi kepalanya yang begitu berisik. Terlebih jika sewaktu-waktu ingatan tentang Namjoon kembali datang, dengan refleks ia akan memukul-mukul kedua sisi kepalanya dengan kepalan tangannya. Berharap dengan cara itu, Namjoon lekas pergi dari pikirannya.

Walau sebenarnya ia paham, jauh di dasar hatinya yang paling dalam ada kerinduan yang meronta agar bisa muncul ke permukaan. Namun, rasa kesal, sakit, marah, kecewa, bahkan benci menutupi celah kerinduan itu dengan rapat. Ia tak ingin merindukan sosok pembunuh itu. Begitulah, pikiran Yejin telah terdoktrin perlahan oleh teman-teman sekolahnya.

BINASA (REVISI)Where stories live. Discover now