CHAPTER 07

321 116 628
                                        

📓♡❕*◞ 🛒 ˊˎ -

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

📓♡❕*◞ 🛒 ˊˎ -

Devan mendengus pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Sikapnya tetap dingin, tak peduli betapa rapuh sosok di hadapannya terlihat saat itu.

"Nyusahin," ucap Devan dengan nada datar namun menohok. Kata-katanya seperti anak panah yang dilepaskan tanpa ampun, tepat menancap di hati Olivia.

Olivia merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu terasa lebih menyakitkan daripada apapun yang pernah didengarnya. Bahkan kedua orang tuanya tidak pernah mengatakan hal sekejam itu padanya.

Dia mencengkeram erat ujung jaket yang dikenakannya, seolah mencari pegangan untuk menahan sakit yang menjalar di hatinya. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap Devan yang menyorotnya dengan pandangan tajam.

Meskipun tatapan kelabu pria itu terhalau oleh kacamata hitam yang dikenakannya, Olivia tetap bisa merasakan tekanan yang menyiksa. Rasanya seakan tatapan itu mampu menembus bola matanya dan langsung menghujam ke jiwanya.

"Maaf udah bikin kamu susah," lirih Olivia dengan suara parau yang hampir tak terdengar.

Bahu Olivia melemah, tubuhnya sedikit bergetar. Kata-kata itu benar-benar menghancurkannya. Sejenak dia mengira bahwa Devan menolongnya dengan tulus, tetapi semua harapannya itu runtuh begitu saja.

"Oliv ga ada maksud buat nyusahin kamu," katanya dengan suara sendu yang terisak pelan. Air matanya hampir jatuh, tetapi dia berusaha keras menahannya.

Devan mendengar permintaan maaf itu, tetapi wajahnya tetap datar tanpa emosi. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia tergerak sedikit pun oleh kesedihan Olivia. "Lo kira dunia ini bakal berhenti buat dengerin permintaan maaf lo?" sindirnya dingin.

Olivia menggeleng lemah, menyadari bahwa Devan memang berbeda dari pria lain yang pernah ia temui. Pria itu bagaikan dinding es yang sulit ditembus. Tapi meski begitu, di balik rasa sakit yang dirasakannya, ada sesuatu yang membuat Olivia yakin bahwa Devan bukan sekadar orang dingin tanpa hati—hanya saja, dia memilih untuk tidak menunjukkannya.

Suasana kembali menegang seperti benang yang siap putus kapan saja. Keheningan yang menggantung di udara semakin menambah berat atmosfer di antara mereka.

"Ngapain?" tanya Devan dengan nada dingin, menatap Olivia dengan sorot mata penuh tanda tanya.

Olivia yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri tertegun mendengar suara Devan. Dia mengedarkan pandangannya bingung, mencoba memastikan bahwa pria itu benar-benar berbicara padanya.

"Siapa? Oliv?" tanyanya ragu seraya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tak percaya. Olivia kira Devan tak akan sudi berbicara dengannya setelah sikap dinginnya tadi. Tapi ternyata, pria itu memang bertanya padanya.

Devan mendecak sebal. "Setan di sebelah gue," jawabnya sarkastis tanpa ampun.

Olivia terdiam, lalu hanya mengangguk pasrah. Dia sudah terlalu lelah untuk merespons dengan energi berlebih. Setelah semua yang terjadi, perdebatan dengan Devan adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya.

DEVAN (REVISI)Where stories live. Discover now