TAMAT

1.7K 170 18
                                    

Ndoho memejamkan matanya, mulutnya bergerak seakan tengah melafalkan sesuatu.

Whufftt!

Sebuah api merambat, membakar rumput hingga membentuk sebuah lingkaran. Membuat pembatas antara Warga, dan Ndoho. Menyisakan Mirah, Dadang, dan Dharma di dalam lingkaran.

Dadang yang panik pun semakin menempelkan parang pada leher Ndoho. Sedang Dharma yang kalut menjauh dari tubuh Mirah, mencari celah untuk keluar dari kobaran api.

"Ojo ngawor!!" (Jangan ngawur) Teriak Dharma saat tidak mendapati celah untuknya melarikan diri.

Dadang yang kesal, bertindak lebih berani, di goresnya sedikit kulit leger Ndoho. Membuat Ndoho menatapnya dengan tatapan tajam.

"Mok kiro kodal?" (Kamu kira mempan?) ucap Ndoho sembari mendekatkan parang itu pada lehernya, menggores lehernya sendiri dengan sekuat tenaga.

Namun parang itu hanya melewati kulit Ndoho tanpa meninggalkan goresan sedikitpun.

Parang itu terjatuh, membuat Dadang mundur secara perlahan sampai sesuatu bersentuhan dengan punggungnya lalu membuatnya berhenti.

Dadang membalikkan badanya, lalu mendapati Mirah menatapnya dengan senyum menyeringai.

Dadang gemetar, tatkala melihat mata mirah yang berwarna putih keseluruhan.

"HAHAHA" Tawa Mirah, menggelegar "Giliranku Dang!" ucap Mirah, menjambak rambut Dadang hingga membuatnya tersungkur ke tanah.

"Sopo kowe!!" (Siapa kamu?) Tanya Dadang sembari berteriak.

Mirah tak menjawab, di seretnya tubuh Dadang, hingga tergores kerikil tajam. "Sudah ingat?" tanya sosok itu sinis. "SUDAH INGAT?" teriak sosok itu saat wajah Dadang sudah tepat di depan api.

"Widuri" Ucap Dadang tak percaya

"Benar ini aku" ucap Mirah, kembali meraih wajah Dadang yang sedikit terkelupas. "Wajah ini, dulu menatapku dengan kebencian! Seakan aku barang yang tidak berharga" Imbuh Mirah, sembari mencengkram kuat rambut Dadang.

Semakin lama wajah mirah berubah menjadi sangat menyeramkan, mata Mirah menjadi hitam pekat, dengan urat hitam di seluruh wajahnya.

"Ampunnn!!!!" teriak Dadang saat wajahnya kembali di dekatkan dengan api.

"Aku dulu juga minta ampun Dang!" ucap Mirah sembari menarik mundur kepala Dadang. "TAPI APA KAU MAU DENGAR?" Teriak Mirah kembali mendekatkan wajah Dadang ke dalam api.

Dadang, tak bisa berkata-kata. Api melalap wajahnya dengan cepat, membuat wajah itu meleleh, hangus hingga membuatnya terbunuh saat itu juga.

"Aku mati lebih mengerikan darimu!" Ucap mirah, lalu tatapanya beralih pada Dharma.

Dharma yang melihat kejadian itu bergetar ketakutan. Di dekatinya Ndoho lalu bersujud di kakinya mengharapkan bantuan untuk terahir kalinya.

"Tulung!! Aku raoleh mati!! Opo ae bakal tak wehne, lak awkmu gelem nulung aku" (Tolong!! Aku nggak boleh mati!! Apa saja akan aku beri, kalau kau mau nolong)

"Aku ora iso nulung" (Aku tidak bisa menolong) ucap Ndoho tenang.

"Bapak" suara itu membuat Dharma mengalihkan pandanganya.

"HUAAAAAAAAAA" teriak Dharma saat melihat banyak bayi yang bersimbah darah, dengan kondisi badan yang tidak utuh. Bayi itu terus merangkak mendekatinya. Dan di belakang bayi itu terlihat sosok Mirah yang tengah menggendong salah satu bayi itu.

"Wid!! Widuri!! Aku gak salah, iku kabeh salahe Dadang" (Aku tidak salah, itu semua kesalahan Dadang) rintih Dharma meminta belas kasihan.

"Aku Mega, Mas. Dan bayi-bayi itu anakmu! Dia mau Bapaknya ikut! Mati! Hahahahaha" Tawa Mirah kembali menggema.

"Ora ora ora" ulang Dharma terus mundur, mundur hingga badanya menyatu dengan api itu sendiri.

"Aku memang tidak bisa membunuhmu, tapi aku bisa menyerang rasa takutmu hingga kau sendiri yang memilih mati" ucap Mirah, melihat badan Dharma yang masih bergolak dalam kobaran api, sampai ahirnya badan itu berhenti bergerak. Menandakan bahwa tujuanya sudah berahir.

Ndoho kembali menggerakkan bibirnya, hingga lambat laun api itu mereda dan hilang.

Warga menatap kejadian itu dengan wajah tak percaya, juga ketakutan teramat sangat.

Mega keluar dari tubuh Mirah, alat yang dia gunakan sedari tadi. Membiarkan Mirah tergeletak di tanah, Mirah tak perlu tau apa yang terjadi. Begitupun Septa yang baru saja datang dalam keadaan tidak sadar, bersama sebagian warga, yang telah melewatkan kejadian besar.

"Kutukan nya sudah selesai. Kalian termaafkan karna ketidak tahuan kalian sejak awal kejadian kelam itu di mulai. Walau begitu, dosa yang kalian tanggung tetap lah ada. Dosa dari mulut yang bungkam saat tau kebenaran yang terjadi, bahkan inging menutupi kebusukan dengan bangkai yang baru. Kini semua harus di kuburkan secara layak, semua yang sudah menjadi mayat harus menyatu dengan tanah." ucap Ndoho menatap satu persatu wajah warga. Termasuk wajah  Bowo yang begitu merasa bersalah.

"Kamu antarkan mereka ke perbatasan Desa, itu penebusan yang setimpal untuk wajah yang baru saja kamu hantam sampai dia kehilangan kesadaran" Imbuh Ndoho, sebelum ahirnya berjalan pulang. Hingga badanya hilang di telan kegelapan malam.

Tamat


*Ahirnya sudah selesai, perjalanan panjang menuju Tamat. Terimakasih kawan, karna selalu menantikan dengan sabar setiap chapter dari Rumah Dinas. Semoga cerita selanjutnya bisa lebih menarik. Nuhunn untuk suport yang selalu aku terima, sampai ketemu di cerita lain.

RUMAH DINASWhere stories live. Discover now