Bagian 17

1.5K 153 8
                                    

Septa, memandangi Diana yang tengah terlelap. Di samping Diana terdapat gelas kosong yang tadinya berisi teh panas. Dari Diana, pandangan Septa beralih pada Dinah. Wanita itu melamun sembari manautkan kuku ke tangan, seperti tengah gelisah. Hingga, membuat banyak goresan di kulitnya.

"Tidak usah kawatir, setelah infusnya habis temanmu sudah bisa di bawa ke kota. Kalau mau, bisa saya panggilkan Bowo untuk mengantar" ucap Septa sembari meraih tangan Dinah untuk di seka.

Dinah membiarkan tanganya di obati, sesekali Dinah meringis, saat alkohol menyentuh kulitnya hingga menimbulkan rasa perih.

"Pasti orang yang Bapak suruh tidak akan mau, jika tau siapa yang hendak dia antar" jawab Dinah tersenyum kecut. "Percayalah, orang yang saya bawa bukanlah orang yang di harapkan kehadiranya" imbuh Dinah.

"Jujur, saya sama sekali tidak paham dengan apa yang kamu ucapkan. Tapi saya kenal dengan Bowo, dia pasti mau bantu" Septa mencoba meyakinkan Dinah.

"Kalau Bapak gak percaya, silahkan di coba.. Sungguh saya akan sangat terbantu jika seseorang itu mau menolong. Tapi, saya juga tidak berharap banyak" ucap Dinah, kembali memandang Diana yang tengah terbaring.

"Kalau begitu, kamu tunggu sini. Dalam 4 jam teman kamu sudah bisa di antar pulang. Saya juga akan kembali secepatnya, sembari membawa tumpangan" ucap Septa, sebelum keluar dari dalam rumah.

Keadaan di luar rumah terlihat hening. Terlihat, Mirah berjalan gontai, memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Namun, saat berpapasan dengan Septa, Mirah menghentikan langkahnya. Lalu menatap Septa dengan mata berkaca-kaca. " Aku benci rumah ini Mas, aku juga benci semua warga disini" ucap Mirah, sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Septa yang kebingungan mencoba menghentikan Mirah, namun dengan kasar Mirah menampik tangan Septa. Mengisyaratkan bahwa dirinya benar-benar tidak ingin di ganggu.

Pandangan Septa beralih pada Ndoho, sedang Ndoho hanya tersenyum samar, seakan tidak terbebani dengan keadaan Mirah yang tengah marah.

Sebebarnya banyak yang ingin Septa tanyakan, namun di urungkanya niat itu, dan bergegas pergi ke rumah Bowo.

Septa berjalan cepat, melewati jalan yang di samping kanan dan kiri di tumbuhi pohon kopi. Tak ada penerangan, hanya sinar bulan purnama yang membantunya melihat jalan berbatu.

Krincing krincing

Bunyi benturan rantai membuat Septa berhenti. Hembusan angin yang melewati lehernya membuatnya merinding.

"Harggggggg" suara erangan terdengar tepat di telinga Septa, membuat Septa spontan berbalik.

Namun, tidak ada siapapun. Sepi, dan hening yang membaur, membuat degub jantung Septa terdengar nyaring.

Karna tidak ada siapapun, Septa ahirnya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalananya. Tapi, baru juga Septa membalikkan badanya, pemandangan yang berada di depanya membuat Septa membelalak ngeri.

"Harggggggggg"

Erangan itu semakin nyaring, bedanya, bukan hanya suara yang keluar, kini sosoknya pun terlihat jelas.

Sosok berjubah hitam, dengan wajah rusak semerah darah, berada di tengah jalan dengan posisi kayang. Memperlihatkan kengerian yang teramat sangat.

Krincing krincing

Suara benturan rantai dari tangan dan kaki sosok itu kembali terdengar, kala sosok itu mulai berjalan mendekati Septa dengan posisinya yang terbalik.

"Harrgggggg ojo melu urusan!!!" (jangan ikut campur) teriaknya sembari terus mendekat.

"Huaaaaaaaaaa" teriak Septa saat sosok itu berada tepat di bawahnya. Sosok itu menganga, dengan darah yang terus keluar dari mulutnya.

"Kenek" (Kena) ucap sosok itu, setelah berhasil memegang kaki Septa.

*Hallo semuanya, semoga hari kalian menyenangkan.. Rumah Dinas, sudah sampai di chapter 17.. semoga kalian semakin suka 🙏🏻 komen untuk masukan, dan jangan lupa vote, agar Jiku semakin semangat buat up chapter selanjutnya.. Nuhunn 🙏🏻🖤

RUMAH DINASTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon