Bagian 16

1.5K 167 7
                                    

Malam ke tiga di Rumah Dinas. Jika di hitung, rasanya cukup singkat sejak kedatangan Mirah dan Septa ke rumah ini. Namun, hal yang membingungkan terus saja datang tanpa adanya jawaban.

Septa terdiam, menduduk kan badanya pada kursi goyang, jarinya bertaut, sedang fikiranya melayang. Percakapanya dengan Suster di rumah sakit masih mengganggu fikiranya.

Keadaan rumah sangat hening. Satu-satunya sumber suara berasal dari dapur, suara dari sendok yang bersentuhan dengan gelas. Membuat aroma kopi menyeruak, memenuhi ruangan yang sempit.

Tok!! Tok!! Tok!!

Suara ketukan pintu yang kasar membuat Septa hampir terjungkal saking kagetnya, Mirah pun sampai berlari menghampiri pintu, bergegas menyibak jendela, dan alangkah kagetnya saat melihat siapa yang ada di ambang pintu.

Mirah bergegas membuka pintu, sedangkan Septa mengekor di belakang.

Dari ambang pintu terlihat dua orang perempuan, satu orang penuh keringat, sedang yang satu lagi lunglai, dengan mimik wajah pucat pasi.

Namun tak hanya itu, satu orang lagi berdiri di depan pagar rumah. Laki-laki tua, menggunakan pakaian serba hitam dan udeng di kepalanya, memperhatikan dari jauh.

"Masuk.." ucap Mirah, sembari membantu memapah tubuh perempuan lunglai tersebut. Di dudukkan nya tubuh perempuan itu pada kursi goyang.

Sedang dari kamar, Septa keluar membawa tas hitamnya, bergegas memeriksa keadaan perempuan lunglai tersebut.

"Apa yang terjadi dengan perempuan ini?" tanya Septa, mulai memeriksa keadaan pasien dadakan nya.

"Dia... Saya juga tidak tau" ucap Dinah, terus memegangi tangan temanya.

"Keadaannya baik-baik saja, hanya lemas karna kekurangan nutrisi, kamu hubungi Pak RT, lalu bawa dia ke puskesmas supaya bisa segera di rawat. Kalau di sini tidak bisa, karna minim peralatan." himbau Septa.

"Gak bisa, warga di sini tidak akan mau ikut campur masalah Desa Sebrang" ucap Dinah, "Rawat dia sebisanya, supaya besok bisa saya antar ke kota. Setelah itu tanggung jawab saya selesai" imbuh Dinah.

"Saya sama sekali gak ngerti" ucap Septa.

"Lalu siapa yang ada di lua?" tanya Mirah. Namun, mirah terdiam saat Dinah menatap Mirah dengan tatapan dalam.

"Laki-laki itu tetua Desa Sebrang, yang mengantar saya kesini. Apa bisa teman saya di rawat? Dan alasan kenapa teman saya tidak ada yang menolong di tanyakan pada beliau?" tanya Dinah.

Septa menatap Mirah, dengan tatapan penuh arti. Hanya dari tatapan itu saja Mirah sudah tau apa yang musti dirinya lakukan.

"Kalau begitu, Teman Mbak biar di rawat disini, dengan peralatan yang seadanya. Tapi, tentu saja saya harus tau alasanya. Supaya saya bisa memberi alasan, kepada Pak RT jika di pertanyakan. Karna Mbak sendiri tidak mau ijin dan sepertinya sulit untuk mendapatkan ijin dari warga" ucap Septa menjelaskan.

"Silahkan" ucap Dinah tenang.

"Kalau begitu biar aku yang tanya" ucap Mirah.

Mirah melangkah keluar rumah, mencoba menemui sosok berkumis dengan tatapan yang dalam.

"Masuk Pak" ucap Mirah.

"Bukan ranah saya" ucap Ndoho dengan suara pelan. "Saya tau, apa yang kamu mau. Jadi boleh? Jika langsung saja saya ceritakan?" imbuh Ndoho langsung pada sasaran.

Kening Mirah berkerut, namun ahirnya mengangguk. Mempersilahkan Ndoho untuk memulai ceritanya.

"Anak itu, namanya Sumiyati. Anak perjanjian. Namun, raganya sudah bebas. Dan yang bersamanya itu Dinah, cucu dari pembuat perjanjian itu. Dia yang melepaskan raganya, dia gadis baik. Bayangkan saja, di tempuhnya jarak yang jauh sembari memapah si anak perjanjian supaya mendapatkan pertolongan.

Kamu pasti bingung, dengan keadaanya yang seperti ini kenapa warga di sini tidak ada yang peduli kan?

Biar ku jelaskan, tidak ada satu pun orang yang berani mengusik anak dari perjanjian, jangankan mengusik, menolong pun enggan.

Kamu tidak usah takut, warga akan menutup mata, tidak akan ada yang menanyakan ataupun menyalahkan Suamimu" ucap Ndoho, tersenyum tipis.

"Perjanjian?" ulang Mirah, mengambil inti dari ucapan Ndoho.

"Orang kota mana paham, perjanjian yang di buat oleh seseorang dengan mahluk tak kasat mata. Padahal kamu sendiri sudah ikut campur" ucap Ndoho melihat kembali rumah yang lima tahun lalu dirinya datangi.

"Saya masih gak paham dengan yang Bapak bilang, ikut campur apa? saya merasa tidak ikut campur tentang masalah orang" ucap Mirah kesal.

"Gausah marah, dengan kamu masuk ke rumah ini saja, kamu berhutang sesuatu" ucap Ndoho, pandanganya kembali menatap halaman Rumah Dinas.

Anak-anak itu berjajar, membuat halaman terlihat penuh sesak, anak yang telanjang dengan banyak rupa yang mereka bawa, ada yang tidak memiliki tangan, ada yang tidak memiliki kepala, ada yang ususnya berhamburan, ada pula yang biji matanya hilang.

Di belakang mereka berdiri sosok hitam, yang menatap Ndoho dengan pandangan tidak suka. Seakan membenci kedatangan Ndoho yang kembali menginjakkan kakinya di Desa Rantru.

Tapi pandangan mengerikan sosok itu, tidak mengundang perhatian dari Ndoho.

Sebaliknya, pandangn Ndoho tertuju pada Mega. Sosok yang melihatnya dengan tatapan sendu sembari menggendong bayi merah di tanganya. "Aku wes omong,  aku ora melu urusan. Ngger cah ayu, marekno urusanmu" (Aku sudah bilang, aku tidak ikut urusan. Anak ku yang cantik, selesaikan urusanmu) ucap Ndoho iba.




*Hallo semuanya, lama tak bersua. Semoga setelah libur lebih dari seminggu, Jiku bisa kembali update setiap hari.

Karna masih dalam suasana Lebaran, mohon di maafkan kesalahan kata, keterlambatan upload, dan hal-hal lain yang sekitanya salah, mohon maaf lahir dan batin kawan.

Untuk bagian Sumiyati, ada di twitter @jikumunya ya.. sekiranya masih ada yang bingung.

Untuk saran bisa sematkan di komentar, dan jangan lupa vote supaya Jiku semangat uploadnya. Nuhunn 🙏🏻

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang