Bagian 24

1.5K 141 13
                                    

5 Tahun setelah Matinya Widuri.

"Sudah lama, Widuri hanya menjadi legande di Desa Rantru. Setidaknya sampai Mega membawanya kembali. Nyawanya dia pakai untuk membebaskan ikatan.

Kini Wireng, berkeliaran di desa. Dan Ndoho, sudah tidak mau ikut urusan.

Mega tidak akan sampai se nekat itu jika tidak bertemu dengan Dokter yang baru datang kurang dari satu minggu.

Maka dari itu, jika Wireng harus di ikat kembali ke dalam hutan bersama si Mega. Sudah pasti Dokter dan Istrinya adalah dua orang yang akan di ambil nyawanya.

Karna, kebetulan sekali mereka mengetahui rahasia Desa Rantru. Dan mereka tidak boleh keluar dalam keadaan selamat." Ucap Dharma, awal dari rencana yang mengerikan.

Bowo terus mengejar sosok Septa yang sudah menjauh. Tanpa sadar jika banyak mata tengah mengintainya dari balik rimbunya pohon kopi.

Nafas Septa sesak, saat dirinya sudah sampai di rumah, rumah terasa aneh, seluruh ruangan terlihat kosong. Tak ada siapapun di dalam rumah.

"Mir? Mirah?" panggil Septa dengan suara keras. Namun, tak ada satupun suara yang menyahut. Tidak ada sama sekali.

"Mir.. Hmmpp" suara Septa tersekat, saat seseorang menutup mulutnya dari belakang.

"Ini aku Bang" ucap Bowo, memperingatkan Septa untuk tidak berteriak.

"Katanya kamu gak mau bantu?" Tanya Septa.

"Tanya nanti saja, kita musti keluar dari sumah ini secepat mungkin!" pinta Bowo.

"Tapi Mirah?"

"Mbak Mirah, pasti sudah lebih dulu pergi" jawab Bowo.

Septa, mengangguk. Lalu secepat mungkin keluar dari rumah. Septa tak banyak proter saat Bowo membawa Septa masuk ke dalam hutan, bukanya melewati jalan setapak yang biasa mereka lewati. Mencoba membaur dengan rimbunya rumput sebatas dada. Mencoba hilang dari banyaknya mata yang memperhatikan mereka dari jauh.

..............

Tess.. Tess..

Keringat membasahi wajah Mirah. Sudah lebih dari 20 menit, Mirah berjalan melewati hutan. Di tambah, perutnya juga tidak sedang dalam keadaan yang baik.  Rasanya perutnya seperti di remas.

"Kenapa?" Tanya Ndoho yang berjalan di belakang Mirah. Memperhatikan seperti ada yang lain padanya.

Mirah menggelengkan kepalanya, seakan-akan semuanya terkendali. Tak ingin merepotkan orang lain. Karna di lihatnya Dinah juga tengah sibuk memapah Diana.

"Kenapa kamu membawaku?" tanya Mirah dengan suara berat.

"Karna kasian pada sosok di dalam perutmu. Sepertinya sudah kau nantikan cukup lama" ucap Ndoho dengan tenang.

"Di dalam perutku?" tanya Mirah lagi.

"Bayi" ucap Ndoho yang membuat Mirah menghentikan langkahnya. Beralih menatap Ndoho lekat-lekat.

"Pertahankan" Imbuh Ndoho. Membuat bulir bening mengalir dari kelopak mata Mirah.

Suara pada semak-semak membuat mereka terjaga. Memperhatikan selitar dengan seksama.

Sampai sesuatu dari arah semak-semak menampakkan dirinya. Tiga orang dengan masing-masing parang di tanganya. Wajahnya di tutup menggunakan sarung.

"Perempuan itu, tidak boleh pergi dari desa ini!" ucap salah satu Warga.

"Lalu, bagaimana dengan dua orang yang aku bawa?" tanya Ndoho dengan nada tenang.

"Kita gak ada urusan sama mereka! Urusan kita hanya denganmu, dan perempuan itu"

Ndoho mengangguk paham, di dekatinya Diana dan juga Dinah, sebelum ahirnya mengucapkan kalimat perpisahan. "Baiklah, kalau begitu kita berpisah disini. Jaga baik-baik Anak Perjanjian itu. Dan sampailah di kota dengan selamat" Ucap Ndoho pada Dinah. "Aku mau bermain sebentar" imbuh Ndoho sebelum melepas kepergian dua gadis yang tadinya ikut bersamanya.

"Ayo kalau begitu" ucap Ndoho membuat Warga terheran. Penolakan atau semacamnya tidak Ndoho lakukan, sebaliknya dia begitu tenang.

"Aku gak mau!! Aku mau pulang!" teriak Mirah, sembari memegang perutnya yang terasa sakit.

Ndoho mendekat, di dekatkan mulutnya pada telinga Mirah. "Kalau kamu mau pulang, tanpa ikut saya terlebih dahulu. Kamu bisa mati!" bisik Ndoho dengan penuh penekanan. Lalu jalan mendahului Mirah.





H-1 Tamat..

RUMAH DINASजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें