Bagian 2

2.2K 160 1
                                    

Malam, berganti pagi. Lambat laun, awan kelabu merona kemerahan. Matahari mulai muncul, di susul bunyi alaram yang berhasil  membangunkan Mirah dari tidur panjang.

Mirah, mengucek matanya, menguap sebentar, lalu membangunkan Sapta yang masih tertidur pulas. Seakan suara alarm yang begitu nyaring sama sekali tidak mengganggunya.

"Mas, bangun" ucap Mirah sembari menguncang pelan tubuh suaminya.

"Hmmmm" erang Sapta yang masih mengantuk.

"Aku siapin sarapan dulu ya, kamu cepet bangun" pinta Mirah, membiarkan Septa kembali tidur.

Mirah meraih tombol lampu, menyalakanya, lalu bergegas menuju dapur.

Dengan gesit, Mirah meraih dua butir telur, lalu memasukkanya ke wajan. Tak butuh waktu lama, kurang dari sepuluh menit, dua telur mata sapi, dan nasi panas sudah tersedia di meja.

Septa, berjalan gontai menuju meja makan. Aroma masakan Mirah adalah alrm terbaik, walaupun lauknya sederhana.

"Cepat sarapan, jam enam pagi kita berangkat loh" Mirah kembali melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 05:00 pagi.

"Iya, gausah terburu-buru. Tadi, aku dapat kabar dari Pak RT, katanya rumahnya sudah di siapkan, rumah bekas Dokter juga. Dan kebetulan, Pak RT sedang berhalangan, jadi kunci di pasrahkan ke warga yang rumahnya dekat situ. Jadi gak masalah kalaupun kita telat, karna gak di tungguin juga"

"Begitu ya, syukurlah. Tapi, karna kita sudah terlanjur bangun, mending sesuai jadwal aja. Toh kita tinggal berangkat, kalau kemalaman ngeri juga Mas, takut ada begal kalau jalananya sepi"

"Yasudah, kalau maunya gitu" ucap Septa sembari memasukkan suapan nasi terahir.

..........

Waktu menunjukkan pukul 06:15, saat Septa mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Walau masih pagi, jalan sudah di penuhi dengan kendaraan. Bau kenalpot juga membumbung, menyaru dengan udara pagi hari yang semestinya segar.

"Nanti kalau di Desa, ga ada bau kenalpot lagi, gak ada lampu merahnya, gaada macet, terus orangnya ramah-ramah" gumam Septa, sembari melirik Mirah.

"Iya.." jawab Mirah seadanya. "Terus sampai sana gimana? kan ga bisa di lewatin mobil jalananya" imbuh Mirah.

"Nah ini pertanyaan yang Mas tunggu-tunggu, dari kemarin kamu masa bodoh terus sih"

"Iya deh, jadi gimana?"

"Jadi nanti mobil di titipkan di rumah warga. Mas, udah nyuruh Asep buat ngambil mobilnya, besok. Nah kita ke Desanya naik dokar. Kamu belum pernah naik dokar kan?" jelas Septa.

"Belum sih, tapi kan malem mas? masak naik dokar?"

"Kenapa? takut ya??" ledek Septa melihat gurat kawatir pada wajah istrinya.

"Aku lebih takut sama begal Mas"

"Aman kok Mir, sebenernya Mas maunya naik motor. Tapi kalau naik motor kan kamu di bonceng orang, ya kalau nggoncengnya pelan, kalau ugal-ugalan gimana? Lebih aman naik Dokar. Biar nanti barang-barangnya baru di angkut pake motor"

"Yaudah kalau emang bagusnya begitu" jawab Mirah. Walau kawatir, Mirah tau benar, Septa pasti memikirkan yang terbaik yang bisa mereka pilih.

.......

Riuh perkotaan, lambat laun di gantikan hening pedesaan. Suara jangkrik samar-samar terdengar, tatkala langit mulai kemerahan. Senja melukis langit dengan sempurna saat Septa menghentikan mobilnya pada warung bambu, di pinggir jalan.

"Mau pesan apa Mbak, Mas" tanya Ibu Warung, saat Septa dan Mirah duduk di kursi rotan.

"Ibuk jual apa aja?" tanya Mirah, sembari tersenyum.

"Sego ampok ada, tiwul ada, botok tawon ada, soto ada, rawon ada, lalapan ayam ada"

"Saya pesen Rawon aja satu, sama teh panasnya satu" ucap Septa.

"Mbaknya mau makan apa?"

"Saya soto aja deh Bu, sama teh panas juga satu" jawab Mirah.

"Ada tambahan?"

"Itu aja dulu Bu" jawab Septa, membuat Ibu Warung bergegas membuatkan pesanan.

Mirah menghirup aroma pedesaan dalam-dalam, bau tanah yang membaur dengan bau tanaman membuatnya nyaman. Apalagi, dengan suasana sejuk yang jauh dari sesaknya kendaraan, bagian inilah yang paling Mirah rindukan saat menemani suaminya bertugas.

"Mulai menikmati kan?" tanya Septa melihat senyum Mirah yang kembali merekah.

"Iya, tapi kamu harus janji. Kalau sepulang dari desa aku belum hamil, kamu ga boleh nunda buat program hamil. Kamu juga harus nolak kalau di pindah tugaskan di plosok desa" pinta Mirah, sungguh-sungguh.

"Iya.." jawab Septa sungguh-sungguh.

"Monggo, ini sotonya, rawon, sama dua teh panas" ucap Ibu Warung menaruh pesanan Septa dan Mirah di atas meja.

"Makasih Bu" jawab Septa dan Mirah nyaris bersamaan.

"Sama-sama. Ngomong-ngomong Mbak sama Mas ini pada mau kemana?" tanya Ibu Warung.

"Saya mau pergi ke Desa Rantru, Bu" jawab Septa sembari tersenyum.

"Ohhh, mending jangan ke sana malam-malam Mas, kesananya pagi aja" kata Ibu Warung mengingatkan.

"Besok saya sudah harus tugas Bu, jadi harus sampai hari ini juga"

"Memang Mas kerja apa di sana?"

"Saya Dokter Umum Bu"

"Ehh, ohh.. yasudah monggo di teruskan" jawab Ibu Warung setengah kaget. Walau begitu, tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya.

"Ibu itu kenapa deh Mas? Kok kayak kaget gitu pas kamu bilang, kamu dokter?" tanya Mirah penasaran.

"Entahlah, mungkin karna jarang dokter yang ke desa itu. Udah gausah di fikirin, cepet habisin makananya, biar gak kemalaman"

"Iya Mas.."

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang