Bagian 21

1.4K 151 7
                                    

Suara erangan, membuat Mbok Sinem bergegas masuk. Suara itu membawa Mbok Sinem pada sosok Mega yang tengah memegang anaknya.

Bayinya sudah lahir, dengan badan membiru penuh memar. Seperti itulah bayi yang dilahirkan Mega. Terlahir mati, karna efek obat yang di teguknya.

Tapi, kali ini ada yang berbeda. Mega terus menyenandungkan lagu sembari mengelus kepala anaknya.

"Lir ilir.. Lirr ilir.. Banyune wes sumilir na ijo royo royo na sanggul temanten anyar.. cah angonn cah angon, penekno blimbing kui, lunyu.. lunyu.. yo penekno kanggo mbasuh dada dira"

Mbok Sinem yang penasaranpun mendekat, dan alangkah kagetnya saat Mbok Sinem melihat wajah bayi yang tengah membuka matanya. Menandakan kalau bayi itu masih hidup.

"Ojo, Mbok" (Jangan Mbok) pinta Mega dengan suara lemah, saat Mbok Sinem mengulurkan tanganya.

"Ini untuk kebaikanmu" ucap Mbok Sinem, tanganya mengarah pada kepala si bayi. Tatapan keduanya bertemu, namun Bayi itu tak bersuara. Hanya memandang sosok, yang menatapnya dengan penuh kebencian.

Klek

Suara patahan tulang terdengar nyaring. Membuat Mega menatap Mbok Sinem dengan tatapan nanar.

"Anakmu juga gak akan hidup lama, lebih cepat dia mati, lebih cepat juga masalah ini berahir dengan baik"

"Baik? Baik untuk siapa? Untukku Mbok? Untuk anakku? Dia masih nafas Mbok! Dia masih liat aku! Apa harus, setiap masalah harus berahir dengan hilangnya nyawa?" tanya Mega dengan tatapan nanar.

"Untuk sebuah rahasia, tentu saja harganya mahal. Kadang, ada seseorang yang harus di hilangkan agar semua berjalan sesuai keinginan. Kamu, harusnya tau. Menjadi simpanan orang berada, membuatmu kehilangan banyak hal. Saya, hanya mempermudah urusan. Seperti kamu, menjadi pelayan orang berada, saya harus siap melakukan banyak hal" ucap Mbok Sinem, Suaranya terputus saat banyak orang masuk ke dalam ruangan.

Warga menyeret Mega, setelah Bayinya di ambil oleh warga. Hukuman untuk Mega adalah pemasungan, penggoda harus di kurung supaya tidak menjadi momok untuk setiap keluarga Desa Rantru.
........

Dadang, menatap Widuri yang sudah babak belur. Darah membasahi wajahnya. Banyak dari giginya patah, sebagian kulit wajahnya juga ruam dengan luka yang terus mengeluarkan darah.

"Diapakne iki?" tanya salah satu warga.

Dadang nampak berfikir, hukuman apa yang pantas untuk perempuan lancang yang terus mengancam untuk membongkar aibnya.

Di tatapnya perempuan yang kesadaranya hampir hilang, baju putih yang dia kenakan sudah serupa darah, rambutnya pun acak-acakan. Namun, semua itu seakan belum cukup.

"Ganti bajunya, dengan baju hitam. Baju putih tidak cocok untuk perempuan macam dia! Perempuan tukang aborsi tidak boleh memakai Seragam Dokter, bahkan pada hari kematianya" jawab Dadang tersenyum sinis.

Warga mengikuti kata-kata Dadang. Tak ada satupun yang membantah ataupun mengasihani perempuan yang tengah terkapar di tanah. Tak lama, baju Widuri berganti dengan jubah hitam yang membuatnya terlihat semakin mengerikan.

"Setelah ini apa?" tanya Dharma, menatap Adiknya dengan kagum.

"Pasung dia di hutan, biarkan dia mati secara perlahan. Biar dia merasakan setiap serangga yang menggigit badanya, masuk ke dalam kulitnya, lalu membuatnya membusuk sebelum kematianya itu sendiri" ucap Dadang, membuat Widuri melemparkan tatapan kebencian pada Dadang.

H-4 Tamat

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang