Kedatangan Ayah

30 16 19
                                    

"Selama ini saya selalu bermimpi bahwa suatu hari nanti Anda akan dengan bangga memanggil saya 'Putri Cantik Ayah" seperti waktu saya kecil. Namun, sepertinya semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka. Karena Anda sendiri tidak menginginkan saya sama sekali."

                - Zaina Anastasha J.-

"Kamu bisa pakai sumpit enggak?"

Zaina tak mengatakan apa-apa, dia hanya melihat pak Radhit dengan malu. Pak Radhit langsung mengambil sumpit yang ada di tangan Zaina mengambil mie tersebut menggunakan ramen dan mengarahkannya ke Zaina.

"Ayo buka mulut, sini saya suapi. Hitung-hitung sebagai tanda maaf saya yang selalu membuat kamu marah." Ucap pak Radhit tulus. Dengan ragu Zaina membuka mulut agar pak Radhit dapat menyuapinya dengan mudah.

Zaina baru tersadar bahwa ternyata pak Radhit tampan juga kalau dilihat dari dekat. Dia menyuapi Zaina dengan telaten, meskipun terlihat menyebalkan tapi dia sangat perhatian dengan sekitar.

Dia selalu mendahulukan Zaina yang tidak dapat menggunakan sumpit, lalu dia yang akan makan. Begitupun seterusnya, tidak ada ledekan untuk Zaina dari pak Radhit karena tidak dapat menggunakan sumpit.

Uhuk!

Tiba-tiba, Zaina tersedak saat dia begitu dalam mengamati wajah pak Radhit.

"Pelan-pelan makannya, Pak Danu pulangnya masih lama, kok. Minum dulu gih, biar enggak tersedak lagi." Ucap pak Radhit sambil menyodorkan segelas air putih pada Zaina.

"Terima kasih, Pak!" Zaina menerima air yang pak Radhit berikan lalu dia minum dengan cepat karena rasa pedas yang membuatnya tersedak.

"Jangan panggil saya 'Pak', panggil saja 'Kak'. Berasa tua saya kalau kamu panggil 'Pak', umur saya baru 23 tahun. Tidak terlalu jauh dari kamu yang masih sekitar 17 tahun-an." Ujarnya yang sedikit risih dipanggil dengan sebutan 'pak' oleh Zaina.

"Idih, ngarep bener gue panggil 'Kak', suka-suka yang manggil dong. Kok situ yang enggak suka?" teriak Zaina kembali pada pak Radhit dengan sinis.

"Karena posisi saya disini bukan sebagai guru kamu, jadi saya mohon jangan panggil 'Pak'. Terserah mau manggil apa, saya tidak akan protes." Pak Radhit terlihat sangat frustasi karena Zaina tak mau memanggilnya 'kak'.

"Oke-oke, gue panggil lo Kak Zidan ya?" tanya Zaina setengah meledek pak Radhit, ia tahu benar kalau pak Radhit tidak suka dipanggil 'Zidan'.

"Ap-apa? Radhit atau Adit aja, ngapain bawa-bawa nama Zidan? Bukannya sudah pernah dikasih tahu kalau saya tidak mau dipanggil dengan nama itu." Pak Radhit benar-benar kehilangan kesabaran hingga tanpa sadar dia berbicara dengan nada tinggi pada Zaina.

Zaina tampak terkejut melihat reaksi dari pak Radhit saat dia panggil 'Zidan', padahal niatnya sendiri ingin bercanda saja padanya.

"Ma-maaf, gue enggak tahu kalau ternyata reaksi lo begitu saat gue panggil itu." Ucap Zaina sambil tertunduk diam.

Pak Radhit jadi merasa bersalah karena telah berbicara dengan nada tinggi pada Zaina. Seharusnya dia yang lebih tua dari Zaina bisa lebih sabar menghadapi nya.

"Iya, enggak papa saya juga minta maaf karena sudah berbicara dengan nada tinggi sama kamu. Tapi tolong, jangan kamu ulangi lagi karena saya benar-benar tidak suka."

"Gue enggak mau manggil lo 'kak'. Gue boleh enggak manggil lo 'Mas'?"

Deg!

Pertanyaan dari Zaina tadi sukses membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Terserah!" jawab pak Radhit singkat, dia membereskan bekas makanan mereka kedalam plastik dan membuangnya agak jauh dari rumah om Danu.

Setelah selesai, pak Radhit kembali masuk ke dalam rumah dan menyiapkan obat yang tergeletak di atas meja.

"Nih minum obatnya, kamu dari pagi kayaknya belum minum obat." Ujar pak Radhit sambil menyodorkan beberapa jenis obat yang harus dia minum saat itu juga.

"Bisa nanti aja enggak, Mas? Gue paling enggak suka sama yang namanya obat." Zaina benar-benar anti sama namanya obat, dia selalu menghindar agar tidak harus meminum obat.

"Kapan sembuhnya kalau enggak mau diminum obatnya? Saya enggak mau tahu pokoknya kamu harus minum obat di depan saya!" perintah pak Radhit pada Zaina yang tak dapat dibantah.

Zaina terpaksa meminum obat itu di depan pak Radhit saat itu juga. Rasa pahit memenuhi indra perasanya hingga ingin sekali dia keluarkan, namun dia tahan hingga akhirnya obat itu berhasil masuk ke dalam tubuhnya.

"Pinter!" ucap pak Radhit sambil mengusap rambut panjang Zaina dengan lembut, senyum manis terukir di wajahnya.

Lalu pak Radhit mengajak Zaina untuk istirahat agar besok bisa berangkat ke sekolah.

"Bagus, orang tua khawatir sama keadaan kamu, tapi kamunya malah enak-enak berduaan sama lelaki ini. Udah mulai jual diri kamu, dia sudah pelanggan keberapa kamu hari ini?" hardik ayahnya terkejut melihat putrinya berduaan dengan laki-laki asing.

"Pak, Anda jangan salah paham sama kami! Saya dan Jevanca tidak ada hubungan apapun, saya kesini hanya ingin menjenguk dia yang sakit dan hendak mengantarkannya ke kamar!" ujar pak Radhit yang sudah tidak dapat menahan amarahnya saat ayahnya Zaina mengatakan putrinya adalah perempuan tidak benar.

"Diam kamu, saya tidak punya urusan sama kamu, urusan saya sama Zaina!" teriak ayahnya Zaina sambil menunjuk-nunjuk muka pak Radhit dan Zaina.

"Yah .... Nana bisa jelasin, ini tidak seperti yang Ayah kira. Nana sama Mas Radhit..." Belum sempat Zaina menyelesaikan kalimatnya, ayahnya sudah kembali murka.

"Mas? Kenapa kau panggil dia, Mas? Bukannya dia guru kamu? Dasar perempuan jalang, mati saja kau!" teriak ayah Zaina yang mencekik leher putrinya sendiri.

"Yah .... sak .... khit .... aakh ... lep .... pasin .... Yah." Ucap Zaina yang terbata-bata, dadanya sesak tak dapat bernafas.

"Pak Vano, Anda sudah hilang akal? Dia putri Anda sendiri, apakah Anda ingin menghabisi nyawa putri Anda sendiri?" teriak pak Radhit yang memisahkan ayah anak tersebut agar nyawa Zaina tidak hilang.

"Iya .... saya sudah hilang akal! Sejak istri saya melahirkan anak sialan ini hidup kami jadi berantakan. Ibunya memilih untuk bunuh diri karena dia, apakah itu tidak termasuk dia membunuh ibunya secara perlahan? Mertua saya memutus hubungan dari kami, sanak saudara selalu menghina kami, saya sudah tidak kuat lagi. Dia hanya menjadi anak pembawa sial untuk saya. Dan kamu, jangan panggil saya ayah lagi dan saya akan coret nama kamu dari kartu keluarga. Saya tidak sudi memiliki anak yang enggak bener kayak kamu." Ayahnya berteriak dan mendorong Zaina sampai jatuh membentur pinggiran meja. Dia juga sesekali menendang dan menginjak perut Zaina, sudah tidak ada kasih sayang di matanya.

"Cukup, Pak Vano! saya tahu Anda benci pada Jevanca tapi jangan sakiti dia, itu melanggar hak perlindungan perempuan dan anak." Teriak pak Radhit mendorong ayahnya Zaina agar menjauh dari putrinya.

"Selama ini saya selalu bermimpi bahwa suatu hari nanti Anda akan dengan bangga memanggil saya 'Putri Cantik Ayah" seperti waktu saya kecil. Namun, sepertinya semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka. Karena Anda sendiri tidak menginginkan saya sama sekali." Ucap Zaina lirih, air mata tak dapat dibendung, sakit hati dan fisik sudah tidak dia rasa.

Ayahnya yang mendengar ucapan dari Zaina tidak mengatakan apa-apa, dia langsung pergi tanpa mempedulikan keadaan putrinya sendiri.

"Jevanca, kamu enggak papa?"

Hai semuanya....

Nat datang dengan membawa sejuta keimutan yang tiada tara.

Gimana ceritanya, bagus enggak?

Kalian kesel enggak sih sama Pak Vano, ayahnya Zaina!

Terus kok dia bisa tahu kalau Zaina ada di rumah Om Danu, ya?

Kuy, ikuti terus ceritanya

Nat tunggu vote, comment kalian ya

Follow juga, follback? DM aja

Rahasia Waktu [ Proses Terbit]Where stories live. Discover now