Surat dari Masa Lalu

49 26 78
                                    

"Kamu tak lebih hanyalah parasit yang tak berguna, hingga cepat atau lambat harus di singkirkan."

- Devano -

"Gue kan udah bilang, kalau gue enggak suka sama orang yang munafik. Masih bisa bahasa manusia kan?" Bentak Zaina lagi kepada pak Radhit.

"Kamu tidak perlu percaya dengan saya, karena tidak semua hal yang kita lakukan harus di buktikan untuk menyenangkan orang lain. Biarkan beberapa hal terkubur dalam ketidakpastian yang akan menjadi rahasia waktu." Ucap pak Radhit yang sudah meninggalkan halaman Zaina menuju mobilnya.

Zaina seketika terpaku mendengar ucapan dari pak Radhit, dia tak menyangka kalau dia akan mengatakan hal yang tidak terduga seperti itu.

Angin sore berembus dan berhasil menerbangkan beberapa anak rambut yang berada di bagian depan. Seketika ingatannya kembali pada masa dimana dia sering bermain dengan ayah dan ibunya ditempat dia melihat pak Radhit.

"Non Nana mau makan apa, biar Bibi masakin." Ucap Bi Santi dari teras rumah. Hatinya hancur melihat Zaina yang seperti kehilangan semangat untuk hidup, terlebih lagi hubungannya dengan sang ayah yang semakin merenggang. Padahal dulu Zaina adalah anak yang ceria dan energik, tapi semenjak kematian sang ibu dan Zaina yang dituduh sebagai pembunuh ibunya sendiri membuatnya jauh dari sang ayah.

"Enggak usah Bi, Nana enggak laper. Kalau laper nanti Nana minta sama Bibi, biar dimasakin yang enak." Zaina sekuat tenaga berusaha untuk terlihat untuk baik-baik saja.

"Ya, udah, Bi Nana masuk ke dalam dulu," tanpa menunggu jawaban dari Bi Santi, Zaina langsung pergi meninggalkan beliau seorang diri di halaman rumah yang meninggalkan sejuta kenangan indah.

Saat Zaina hendak menuju tangga untuk pergi ke kamarnya, ia melihat ayahnya keluar dari kamar yang tak pernah digunakan lagi setelah ibunya meninggal. Karena setelah itu ayahnya memilih untuk tidur di kamar tamu dan mengosongkan kamar itu.

Karena penasaran dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya, ia langsung masuk ke dalam kamar tersebut. Saat Zaina masuk seketika dia kagum dengan kondisi kamar itu yang tetap saja bersih dan rapi meskipun sudah 12 tahun tidak pernah di tempati.

"Ibu! Zaina rindu sama Ibu rindu banget, Zaina ingin cerita tentang apa aja sama Ibu. Kata Aura dia sering cerita sama Ibunya tentang banyak hal, sampai masalah percintaan sekalipun. Zaina kapan bisa cerita-cerita sama Ibu?" ratap Zaina menangis sambil memeluk guling yang ada di atas kasus yang empuk.

Setelah puas menangis Zaina kembali menyusuri kamar yang sudah dua belas tahun tidak pernah dia masuki lagi. Dia menyusuri lemari kecil yang diatasnya terdapat banyak foto dan hiasan lain yang menarik.

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada meja rias yang diatas meja itu banyak sekali kosmetik yang masih tersusun dengan rapi.

Meja rias besar yang ber-cat putih gading dengan ukiran di pinggirannya. Meja rias itu sangat mewah karena bingkainya terbuat dari kayu jati.

Saat dia membuka beberapa laci yang ada di bawah meja, hingga betapa terkejutnya Zaina saat melihat sebuah kertas dengan bercak merah di beberapa bagian, yang Zaina pikir itu adalah darah.

Dengan tangan yang gemetar dia mengambil kertas itu dan mulai membaca isinya.

"Hai Mas...
Mungkin saat kamu baca surat ini aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Aku udah capek, Mas. Kamu selalu memanjakan Zaina dan selalu menyalahkan aku untuk segala hal. Kamu juga selalu menghabiskan waktu dengan Zaina. Dan aku .... aku hanya dapat melihat punggungmu saat tertidur, kamu sudah berubah Mas. Semenjak Zaina lahir prioritas mu hanyalah Zaina dan Zaina, tidak ada aku di dalam hati maupun otakmu.
Aku sudah capek!
Kalau boleh jujur aku menyesal melahirkan dia di dunia ini, Zaina adalah penyebab kerenggangan hubungan kita. Karena dia kita menjadi jauh hingga seperti orang asing. Kamu, Ibu, Ayah selalu menyalahkan ku untuk hal-hal yang terjadi pada Zaina. Apalagi setelah pertengkaran kita hari ini, kamu memilih untuk menjemput Zaina daripada memperbaiki hubungan kita yang sudah renggang.

Dan, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupku saja, karena aku yakin kamu tidak akan peduli. Ada atau tidak ada nya aku tidak berarti apa-apa buatmu.

Terima kasih untuk lima tahun pernikahan yang menyakitkan! sungguh ini sangat berarti sama aku.

Silahkan bahagia bersama Zaina dan menarilah di atas kuburanku. Haha.

Semarang, 09 Maret 1999
Tertanda

(Mauren Cesa Agustin)

Setelah Zaina membaca surat itu, baru dia sadar mengapa ayahnya begitu benci padanya dan para keluarga yang menyebutnya pembunuh. Ternyata dia memang pembunuh, dia memang anak yang tidak berguna dan tak pantas untuk hidup.

Hatinya sakit membaca tulisan ibunya, kakinya begitu lemas hingga dia tak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Hingga dia terjatuh dengan berlinang air mata.

"Puas kamu, menghancurkan hidup saya dan istri saya? Menghancurkan hubungan yang sudah dari SMA kami bina, yang awalnya kehidupan kami begitu tenang dan saat kamu lahir begitu banyak permasalahan yang harus kami hadapi hingga dia memilih untuk mengakhiri hidup. Kamu tak lebih hanyalah parasit yang tak berguna, hingga cepat atau lambat harus di singkirkan." Ucap ayahnya dengan kejam lalu meninggalkan Zaina yang menangis tersedu-sedu.

Zaina terus menangis, dia tak pernah menyangka bahwa dia adalah pembunuh ibunya sendiri. Dia yang merasa marah, malu, semua emosi bercampur menjadi satu. Lalu Zaina berlari keluar dari kamar itu menuju kamarnya.

Zaina mengambil tas dan beberapa barang yang dapat dia bawa, lalu berlari menuruni tangga menuju motornya terparkir.

Pikirannya jelas sudah tidak jernih sekarang ini, dan dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang dia tidak tahu secara pasti.

Hai guys, gimana ceritanya? Bagus enggak?

Semoga cerita ini tidak mengecewakan kalian.

Aku tunggu vote, comment kalian.

Follow juga .... Follback? DM aja

Rahasia Waktu [ Proses Terbit]Where stories live. Discover now