Sikap Tak Acuh Ayah

91 36 147
                                    

"Ayah! Aku rindu ayah! Aku rindu kasih sayang ayah! Aku rindu makan berdua sama ayah! Apakah semua kenangan indah itu tidak mungkin lagi untuk terulang, yah? Kenapa aku sulit sekali untuk menggapai ayah?"

 Zaina Anastasha. J

"Udah ya, Ra, gue enggak mau denger tentang ini lagi. Meskipun lo bilang gue bukan penyebab ibu gue meninggal, tapi sikap ayah gue menunjukkan kalau gue emang pembunuh ibu gue sendiri. Selama dua belas tahun terakhir enggak pernah ada percakapan yang berarti antara gue sama ayah gue. Karena apa? Karena dia berpikir gue pembunuh dan kalau sampai sekarang dia masih ngurusin gue, itu enggak lebih dari rasa kasihan aja." Jelas Zaina yang sudah tidak dapat membendung air matanya, dan berlari keluar menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.

Di tengah perjalanan menuju kamar mandi, dia tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang, hingga membuat dirinya jatuh tersungkur.

"Aduh! Heh, punya mata enggak, sih, lo?" bentak Zaina kepada seseorang yang telah menabraknya hingga jatuh tersungkur.

"Mata? Tentu punya. Jika saya tidak punya mata, tidak mungkin saya bisa berjalan sendiri di lorong yang tenang, hingga ada seekor 'Kuda Nil hamil' menabrak saya dengan kerasnya, sampai saya ikut terjatuh, beserta barang-barang yang saya bawa." Jawab orang itu dengan sinis, sambil memunguti barang-barangnya yang berserakan di lantai.

"Ap ... apa lo bilang? Kuda Nil hamil? Siapa yang lo maksud? Gue gitu, iya?" tanya Zaina yang sudah tak dapat menahan amarahnya, hingga dia meremas kerah baju orang tersebut.

"Siapa lagi kalau bukan Anda, saya sedang berjalan santai di lorong. Sedangkan Anda berlari dengan menutup setengah wajah dan pandangan menatap lantai. Apakah untuk kasus ini saya yang salah? Bukannya di sekolah ini ada larangan untuk jangan berlarian di lorong? Mengapa Anda masih saja melanggar? Anda tidak mau dianggap anak kecil, tapi perilaku Anda seperti anak sepuluh tahun." Meskipun orang yang menjadi lawan bicaranya sudah tak dapat menahan amarahnya, tapi orang itu tetap saja tenang tak tersulut emosi seperti Zaina. Hingga dia masih sempat-sempatnya tersenyum tipis di sela ucapannya.

"Bangs*t! Kagak usah banyak bac*t lo, kagak usah sok menggurui gue, lo enggak tahu gue, enggak tahu kondisi gue, enggak tahu kehidupan maupun keluarga gue! Jadi, kagak usah sok bijak anj*ng, gue benci sama orang yang bermuka dua kayak lo!" maki Zaina keras hingga membuat para guru dan beberapa siswa yang kelasnya tidak jauh dari keberadaan Zaina dan orang yang Zaina tabrak keluar karena mendengar teriakan Zaina.

"Jevanca!" teriak seseorang dari arah belakang, dan saat di lihat ternyata dia adalah Pak Danuarta Javin Galendra, kepala sekolah SMA Negeri Harapan Bangsa.

Beliau tampak sangat marah, hingga Zaina dapat melihat urat yang tercetak jelas di lehernya.

"Jevanca, berdiri didepan ruangan bapak sekarang!" perintah Pak Danu, saat Zaina mulai beranjak dari tempatnya berdiri menuju kantor kepala sekolah, Zaina dapat melihat dari sudut matanya kalau Pak Danu berbicara dengan orang yang Zaina tabrak itu.

Di Ruang Kepala Sekolah

"Terima kasih, Pak Vano karena telah sudi menerima undangan saya untuk datang ke sekolah pada siang hari ini! Maaf jika saya mengganggu kesibukan Anda." Ucap Pak Danu dengan ramah, kepada ayahnya Zaina yang raut wajahnya tidak dapat dibaca.

"Sama-sama, Pak Danu kebetulan saya tidak dalam masa sibuk, maka dari itu saya bisa langsung menerima undangan dari bapak," balas ayahnya Zaina dengan senyum tipis.

"Baiklah, Pak Vano, saya memanggil Anda kesini karena saya mau membicarakan sesuatu tentang Jevanca," ucap Pak Danu dengan postur tubuh canggung.

"Dia bikin masalah apa lagi?" tanya ayahnya Zaina to the point.

"Wah, sepertinya bapak bukan orang yang  suka basa-basi ya?! Hahaha."Tawa Pak Danu yang terdengar di seluruh ruangan, namun ayahnya Zaina tak berniat untuk ikut tertawa seperti lawan bicaranya itu.

"Bukannya apa-apa, Pak. Tapi saya tidak punya banyak waktu untuk mengurus anak itu, karena masih banyak hal yang harus saya urus selain mengurusi dia," tegas ayahnya Zaina kepada Pak Danu dengan nada suara yang dingin.

"Baiklah, Pak Vano, jadi Jevanca tadi ketahuan berteriak dan memaki salah satu guru baru yang ada di sekolah ini karena sebuah hal yang sepele. Jadi, saya ingin memberitahu bahwa kami memutuskan untuk...."

"Mengeluarkannya dari sekolah?" potong ayahnya Zaina tanpa mau mendengar ucapan Pak Danu.

Pak Danu yang mendengar mendengar ucapan ayahnya Zaina langsung tersenyum tipis.

"Saya hanya ingin bilang untuk memberikan materi khusus untuk Jevanca di luar lingkungan sekolah selama dua minggu." Ucap Pak Danu ramah.

"Terserah Anda bagaimana baiknya! Tidak perlu memberitahu perkembangan tentang dia, tidak penting buat saya. Berikan saja rincian biaya untuk kelas khusus, nanti saya transfer!" ucap ayahnya Zaina yang langsung beranjak dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi.

"Baiklah, karena masih banyak urusan yang harus saya selesaikan, jadi saya pamit undur diri."

Saat ayahnya Zaina akan menggapai handle pintu, tiba-tiba Pak Danu memegang pergelangan tangan ayahnya Zaina.

"Jangan terlalu benci pada Jevanca, dia anak yang baik!" Ucap Pak Danu, yang tidak dijawab oleh ayahnya Zaina. Beliau hanya menatap Pak Danu tajam lalu meneruskan langkahnya untuk berjalan keluar dari ruangan itu.

Di depan ruangan Pak Danu, Zaina dapat melihat ayahnya yang keluar ruangan dengan wajah yang murung. Dia hanya melirik ke arah Zaina lalu pergi tanpa mengatakan sepatah apapun kepada Zaina.

'Ayah! Aku rindu ayah! Aku rindu kasih sayang ayah! Aku rindu makan berdua sama ayah! Apakah semua kenangan indah itu tidak mungkin lagi untuk terulang, yah? Kenapa aku sulit sekali untuk menggapai ayah?' batin Zaina, yang sedih melihat ayahnya yang mengacuhkan dirinya seperti itu.

Tak terasa, bulir-bulir air mata jatuh tanpa dia sadari. Hatinya hancur melihat sikap ayahnya yang selalu mengacuhkannya, tak pernah memperdulikan dirinya sama sekali. Seakan dia hanyalah debu yang cepat atau lambat akan dibersihkan.

Tiba-tiba dia merasakan sapu tangan yang menyapu lembut pipinya, sontak dia langsung tersadar dari lamunannya.

"Eh, Om! Tad ... tadi om ngomong apa sama ayah, kok ekspresi wajah dia kayak gitu waktu keluar dari kantor,Om?" tanya Zaina lirih. Keluarga Zaina memang sudah lama mengenal Pak Danu, dan Zaina bisa bersekolah di SMA Negeri Harapan Bangsa atas rekomendasi dari Pak Danu sendiri. Maka dari itu jika tidak ada orang atau berada di sekeliling orang-orang yang mengenal mereka, Zaina memanggil Pak Danu dengan sebutan 'Om'.

"Dua minggu kedepan kamu akan belajar di luar lingkungan sekolah,dan ayah kamu setuju dengan kebijakan sekolah!" jawab Pak Danu sambil membersihkan wajah dari air mata dengan sapu tangan.

"Saya mau diskors?" tanya Zaina yang masih belum paham dengan maksud dari Pak Danu.

"Bukan, besok Senin kamu juga tahu sendiri." Jawab Pak Danu sambil tersenyum manis yang di balas dengan wajah masam Zaina. Karena tidak tahan, beliau mencubit pipi Zaina dengan gemas.

"Au, sakit!" teriak Zaina kesakitan gara-gara ulah beliau.

Akhirnya, bisa up juga setelah sekian lama stuck enggak nemu ide yang bagus.

Ada yang kangen aku enggak?

Guys guys, gimana ceritanya?

Bagus enggak?

Duh, kasihan banget si Zaina ya?

Tapi tapi ada hubungan apa dia dengan Pak Danu? Duh, jangan-jangan dia sering open BO lagi? Canda open BO

Penasaran sama cerita selanjutnya enggak?

Pantengin terus ya......

Jangan lupa vote, comment, follow, kalau mau follback DM aja. Okeeeee

Rahasia Waktu [ Proses Terbit]Where stories live. Discover now