Prolog

8.3K 200 5
                                    

Prollog.

Di kamar mandi rumahnya, seorang wanita cantik bernama Sinta hanya bisa menghela nafas, saat menatap alat tes kehamilan yang berada di tangannya. Alat tes itu menunjukkan satu garis atau negatif, artinya belum ada janin di rahimnya. Padahal, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke lima tahun, namun Sinta dan suaminya belum juga diberi kepercayaan untuk mengandung.

Sebenarnya Sinta tahu kenapa ia belum diberi momongan, hal itu berhubungan dengan kondisi tubuhnya. Ia memiliki tumor rahim yang bisa dikatakan ganas, yang menyebabkan dirinya tidak bisa memiliki keturunan. Namun Sinta tidak berputus asa, selain menjalani pengobatan tanpa sepengetahuan suaminya, Sinta selalu berharap suatu saat nanti ada keajaiban untuknya bisa hamil dan melahirkan seorang anak.

Ya, suaminya memang tidak tahu penyakitnya, karena Sinta lebih memilih menyembunyikan fakta itu dari pada harus mengatakan yang sebenarnya, tentu saja alasannya karena Sinta tidak mau suaminya mengkhawatirkan kondisinya. Meskipun itu artinya ia harus memiliki senjata untuk ia jadikan alasan, kenapa ia belum hamil sampai sekarang.

Suaminya selalu bertanya, kenapa ia belum hamil juga, namun Sinta justru menjawab kalau dirinya sengaja meminum obat KB, obat pencegah kehamilan. Padahal Sinta tidak pernah meminum obat semacam itu ataupun suntik pencegah kehamilan sekalipun.

Sinta selalu beralasan, kalau dirinya adalah wanita karir, yang tidak ingin hamil. Awalnya suaminya menerima meskipun terkadang membujuknya untuk segera hamil, namun Sinta selalu menolak dengan alasan yang sama. Bukannya Sinta tidak mau, ia hanya belum mampu.

Penyakitnya lah yang menyebabkan dirinya susah hamil, namun ia juga tidak mau memberitahukan kondisi tubuhnya yang seperti apa. Suaminya bisa saja kecewa dan mengkhawatirkannya, meskipun akhir-akhir ini sikapnya tampak berubah.

Suaminya sudah jarang tersenyum sekarang, padahal saat mereka berpacaran dulu, suaminya lah yang selalu ceria dan bersemangat terutama saat mereka sedang bersama. Jujur saja, Sinta merindukan masa-masa itu, masa-masa di mana suaminya begitu mencintai dan menyayanginya.

Tidak ingin terus-terusan bersedih, Sinta memutuskan untuk keluar dari kamar mandi lalu duduk di ranjangnya dan menyimpan tes pack kehamilannya di sebuah kotak. Di dalam sana, sudah ada puluhan alat tes yang sama, yang sengaja Sinta simpan entah apa alasannya, padahal semua menunjukkan garis yang sama, garis satu berwarna merah.

Setelah selesai, Sinta menyimpan kembali kotak itu lalu duduk termenung sembari menyenderkan punggungnya. Tak lama, terdengar suara pintu terbuka, ternyata suaminya baru datang dari tempatnya bekerja. Saat itu Sinta seketika tersenyum, lalu berjalan ke arah suaminya untuk menyambutnya.

"Kamu sudah pulang, Re?" tanya Sinta sembari membantu suaminya membuka jas kerjanya.

"Hm," jawabnya singkat, nada suaranya juga terdengar lelah, namun Sinta tetap menyunggingkan senyum yang sama.

"Malam ini kita ke restoran langganan kita ya, Re? Kita makan malam berdua di sana. Bagaimana?"

"Mata kamu itu buta ya? Aku kan baru pulang kerja, tubuh aku kecapean, tapi kamu malah ngajak aku makan malam? Aku enggak mau, aku sudah makan di luar tadi." Lelaki yang bernama Rehan itu menjawab kesal, nada suaranya juga terdengar jauh dari dia yang dulu, membuat Sinta kecewa meski yang ia lakukan tetap tersenyum dan berusaha menyabarinya.

"Kamu lupa ya, hari ini kan hari ulang tahun pernikahan kita? Aku kan juga mau merayakannya sama kamu, kita beli kue, makan malam romantis, terus jalan-jalan di malam hari kaya dulu, Re. Bagaimana?" Sinta bertanya dengan senyuman yang sama, namun sepertinya Rehan tampak tak berminat dengan tawarannya.

"Enggak. Aku capek. Buat apa sih merayakan hari ulang tahun pernikahan? Toh, enggak ada yang beda dari kita kan? Kita tetap enggak punya anak sampai sekarang." Rehan menjawab ketus, yang tentu saja berhasil melunturkan senyum di bibir istrinya.

"Jadi intinya kamu enggak mau kita makan malam di luar, di hari ulang tahun pernikahan kita?" tanya Sinta sekali lagi, nada suaranya juga terdengar berbeda.

"Enggak lah, aku capek. Hari ulang tahun pernikahan itu enggak akan ada artinya, kecuali kita punya anak." Mendengar jawaban suaminya, Sinta berusaha untuk menahan air matanya agar tidak tumpah, tangannya bahkan mengepal kuat untuk tetap terlihat tabah.

"Ya sudah kalau begitu kamu mandi ya? Terus istirahat dan tidur yang nyenyak." Sinta berujar lembut sembari berusaha untuk tersenyum, namun Rehan justru menatapnya dengan tatapan nyalang seolah ia sudah benar-benar lelah bertahan sekarang.

"Kenapa sih kamu selalu egois? Kamu lebih mementingkan karir dari pada kita punya anak? Memangnya apa sih yang kamu dapat dari memimpin perusahaan Papa kamu itu? Uang? Kekuasaan? Iya?" tanya Rehan yang hanya bisa Sinta diami tanpa mau menjawab.

"Semua itu sudah aku miliki. Aku punya uang, aku punya kekuasaan, aku punya segala-galanya. Tapi satu yang aku enggak punya, yaitu anak. Aku juga mau kaya teman-temanku yang lainnya, mereka semua sudah punya anak yang bisa menghibur rasa lelah mereka setelah pulang bekerja. Tapi aku apa? Aku pulang kerja cuma lihat kamar rapi, rumah bersih, dan istri yang sibuk dengan dunianya sendiri." Rehan tersenyum kecut, merasa tak menyangka dengan hidupnya yang hambar selama ini.

"Kamu sadar enggak sih kalau kamu itu terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu? Padahal istri-istri dari teman-temanku, semuanya pada sibuk merawat anak, mereka sampai enggak ada waktu buat merias diri, tapi aku lihat keluarga mereka semua pada bahagia. Tapi hidup kita bagaimana sekarang, kita enggak bahagia, meskipun kita sudah punya segalanya." Lagi-lagi yang Sinta lakukan hanya terdiam saat Rehan berusaha memberinya pengertian akan kebahagiaan orang-orang di luar sana, yang bisa punya anak dengan mudah.

Tanpa suaminya tahu, bagaimana Sinta juga mengharapkan hal itu. Sinta bahkan sudah menginginkannya sejak lama, sejak mereka masih berpacaran. Ia selalu berangan-angan memiliki anak laki-laki dan perempuan bersama Rehan, namun kenyataan seolah ingin menamparnya dengan keras, saat ia tahu penyakit yang hinggap di tubuhnya.

"Aku minta maaf, Re ...." Sinta hanya bisa menjawab dengan kalimat itu, tanpa suaminya tahu bagaimana hatinya juga ingin marah dengan kondisi dan nasibnya.

"Maaf untuk apa? Maaf untuk kamu yang enggak mau hamil? Iya? Kamu itu egois, Sinta. Cuma karena uang dan kekuasaan, kamu enggak mau menjalankan kodrat kamu sebagai wanita untuk punya anak." Rehan berujar kesal lalu pergi keluar kamar, meninggalkan Sinta yang tampak kecewa dan takut di waktu yang sama.

"Kamu mau ke mana, Re?"

"Aku mau pergi keluar, bisa pecah kepalaku menghadapi keegoisan kamu."

"Aku mengerti perasaan kamu, tapi tolong jangan pulang malam-malam ya?" ujar Sinta terdengar khawatir, namun ia juga tidak bisa menghentikan suaminya, ia sendiri bingung harus bagaimana.

"Terserah aku mau pulang kapan, enggak ada urusannya sama kamu." Rehan menjawab ketus tanpa mau menatap ke arah istrinya yang hanya bisa menatap punggungnya.

Sinta meluruhkan tubuhnya ke lantai, air mata yang ia tahan sedari tadi kini meluncur begitu saja. Sinta menangis meratapi nasibnya, ia benar-benar tidak ingin berada di posisinya sekarang, namun Tuhan yang menginginkannya, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah.

"Maafkan aku, Re. Aku juga mau hamil, tapi ...." Sinta menghentikan ucapannya, ia tidak sanggup mengatakan tubuhnya yang kemungkinan besarnya mandul. Sedangkan pengobatan yang bisa ia jalani hanya dengan meminum obat, ia tidak bisa melakukan kemoterapi dan metode penyembuhan lainnya, suaminya bisa saja mengetahui penyakitnya.

Second mate (TAMAT)Where stories live. Discover now