Sembilanbelas

Beginne am Anfang
                                    

"Maaf ya, Neng Amal. Gue terlambat."

"Gimana, Pak Rektor? Rencana world class university-nya apakah sudah terlaksana?"

"Bajingan banget lo, Sonya."

Sonya hanya tertawa mendengar respon Aji dan kembali berkutat dengan kudapannya, menghabiskan sedikit yang tidak lebih dari dua sendok lagi untuk dilahap.

"Lo udah pesen, Ji?"

Aji mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa melihat ke arah lawan bicaranya karena tangannya yang sibuk merogoh sesuatu di dalam totebagnya yakni buku catatan dan ponsel yang dipersiapkan untuk membantu pekerjaan Lia. Sedangkan Lia sendiri sudah bersiap dengan laptopnya.

Tidak lama kemudian, Sonya dan Yesi memutuskan untuk kembali. Mereka berpamitan dan perlahan-lahan hilang dari pandangan Lia seiring dengan sepiring nasi kuning ayam kecap milik Aji yang akhirnya datang untuk dihidangkan. Aji berpindah posisi duduk di depan Lia berhadap-hadapan untuk memudahkan arah pembicaraan.

"Lo bayar nggak tuh?"

"YA BAYAR LAH, NENG AMAL."

"Kirain kaya jaman kanting dulu."

Lia kemudian kembali sibuk mengetik kata demi kata menyusun sebuah paragraf analisis makalah di layar laptopnya sesuai arahan yang diberikan oleh Aji. Sesekali ia melontar tanya di tengah-tengah kegiatan makan teman SMA-nya itu.

"Lo tau nggak sih, Ji. Kemarin di desa temen gue tuh ada suatu sub-kelompok masyarakat di desa itu yang mereka tuh LGBT dan mereka diakui keberadaannya, loh. Maksud gue, keberadaannya nggak dikecam gitu sama warga sana. Ya walau ada sih beberapa yang kontra, cuman mereka biasa aja gitu. Bukan yang mengecam, diusir, dikucilkan gitu, asal nggak melakukan terang-terangan di publik."

Aji mengerutkan keningnya, bingung. "Hah? Nggak dikecam tapi nggak boleh melakukan terang-terangan? Sama aja nggak boleh, dong?"

Lia bergumam pelan, berpikir sedemikian rupa, lalu menganggukkan kepalanya. Iya juga ya, pikirnya.

"Iya juga, ya?"

Aji terkekeh pelan, lantas melontarkan pandangannya kepada Lia.

"Kalo lo sendiri gimana, Li? Mengecam keberadaan mereka nggak?"

Lia menggelengkan kepalanya, tentu tidak. Mereka sama-sama manusia yang memiliki kehidupan. Mau dibawa kemana kehidupannya adalah urusan mereka, ia tidak berhak mencampuri-selama, tidak menimbulkan permasalahan dan merugikan masyarakat secara signifikan.

"Kalo gue salah satu dari kaum itu, gimana, Li?"

Jari-jemari Lia yang semula menari di atas papan ketik refleks berhenti sejenak untuk mengalihkan atensinya pada pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan Aji barusan. Ia terdiam membisu sejenak, lalu tertawa pelan.

"Ya nggak apa-apa? Kenapa emang?"

Aji ikut tertawa. Entah kenapa ia melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan dengan topik yang seringkali dinggap terlalu sensitif oleh beberapa kalangan.

"Enggak kok, bercanda."

"Oh iya, lo ama Mas Ino gimana lanjutnya?"

Lia bergumam pelan, "Hm.. nggak gimana-gimana? Nggak ada lanjutannya."

Ah iya, Lia teringat sesuatu.

"Btw, Ji. Kemaren gue ketemu Mas Ino di jalan lagi kasih makan kucing sama bagi-bagi nasi, gitu. Itu- Mas Ino emang sering gitu atau gimana?"

Nasi di atas piring Aji telah tandas. Kini ia beralih pada satu gelas besar minuman coklat yang sedang ditenggaknya membasahi kerongkongannya.

Aji menganggukkan kepalanya, "Iya, Mas Ino sering begitu."

Bibir Lia membulat sempurna, "Oh.. gitu."

Aji terkekeh pelan. Tentu ia tahu bahwa Lia menghangat hatinya melihat aksi yang dilakukan Ino. Siapa pula yang tidak terpesona melihat orang dengan tabiat baik seperti itu, terlebih-lebih bila menyukai orang itu. Ibarat perasaan dituangkan pada sebuah wadah yang telah dikira-kira luas dan volumenya, tiba-tiba meruah-rugah keluar karena volume yang bertambah secara tiba-tiba.

"Mas Ino mirip kotak pandora ya, Ji."

"Pandora apaan, Li? Sirkus?-OH MAKSUD LO DIA BADUT? EMANG."

Lia menggelengkan kepalanya kuat sembari tertawa keras-keras mendengar ucapan Aji barusan. Bukan, bukan begitu maksudnya.

Selalu ada hal baru yang keluar dari kotak yang ia anggap isinya telah keluar semua. Namun rupanya belum. Masih ada banyak ketakjuban yang akan ke luar dari sana, dan Lia senantiasa menunggunya.

Lia berharap, semoga ia diperkenankan untuk melihat ketakjuban-ketakjuban dari kotak pandora itu.

***

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt