01

183 40 45
                                    

Gerbang SMA Gravatar tampak sepi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gerbang SMA Gravatar tampak sepi. Seorang gadis berlari dengan nafas yang tersengal. Jantungnya berdebar kencang, menatap gerbang yang sudah tertutup rapat.

"Aduh," keluh gadis itu.

Namanya Clarissa Ayudia. Seorang siswa lugu dan culun yang hanya mengandalkan kepintarannya. Ia kini duduk di kelas XI IPA 1, di SMA Gravatar. Menggunakan kacamata berbingkai bulat, dan rambut terkuncir satu menambah lengkap penampilannya.

Clarissa tinggal bersama kedua orang tuanya yang berasal dari keluarga sederhana. Membuat ia harus berkerja demi menghadang kerasnya kehidupan di masa sekarang.

"Pak, bukain, dong!" pekik Clarissa.

Pak Budi--Satpam sekolah--hanya duduk sembari fokus menatap layar ponselnya.

"Please, Pak. Saya ada ulangan harian."

Pak Budi beranjak dari duduknya. "Kenapa bisa terlambat?"

"Tadi malam saya tidur kemalaman, soalnya saya kerja, Pak, di salah satu kafe."

"Hmm ... silahkan masuk." Pak Budi membuka gerbang tersebut. "Tapi, kamu ke guru piket dulu," lanjutnya yang dijawab anggukan kecil oleh gadis itu.

Clarissa menghela nafas lega saat berhasil masuk ke dalam sekolah. Tidak mau mengurangi waktu ulangannya, ia segera berlari menuju kelasnya.

Menjadi siswi di SMA Gravatar adalah suatu kehormatan baginya. Apalagi ia merupakan satu-satunya siswa yang mendapatkan beasiswa. Eits, bukan karena ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tetapi, karena prestasi yang ia miliki tidak sembarangan.

Gadis itu berlari melewati lapangan. Namun, langkahnya terhenti. Saat sebuah bola basket bergelinding di depan kakinya.

"Dek, tolong lempar ke sini, dong," pinta seseorang dari sudut lapangan.

Clarissa mengambil bola tersebut, lalu, memegangnya dengan kedua tangannya. Ia mengambil ancang-ancang untuk melempar. Sekuat tenaga ia mendorong bola tersebut, namun, malang nasibnya. Bukannya kembali ke tempat asal, bola tersebut justru mengenai kepala seseorang yang duduk di bawah pohon.

"Aww," ringis cowok itu. Ia mengambil bola tersebut, kemudian, berdiri sembari mengangkat tinggi benda itu. "Siapa yang lempar?!" pekiknya.

"Kok, bisa kena dia, sih," tutur gadis itu pelan.

"Nggak ada yang mau ngaku? Apa perlu gue nyari siapa pelakunya?!" ucap cowok itu dengan nada tinggi.

Clarissa menghela nafas gusar, pasalnya tak ada satu pun suara yang terdengar saat itu. Ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyatakan yang sejujurnya.

"Kamu bisa, Ris. Ayo!" ujarnya menyemangatkan diri.

"Dalam hitungan ketiga nggak ada yang ngaku, kalian akan menerima akibatnya!" Lagi dan lagi, ucapan cowok itu membuat Clarissa mengurungi niatnya untuk jujur.

Rosa FeliciaWhere stories live. Discover now