Sixteen

1.4K 144 9
                                    

Tavisha sedang menekuni kegiatan memberi makan kucing barunya ketika sang ibu datang sembari membawa sebuah gelas di tangan kanannya. "Hai, Ma."

Nayara – Ibu Tavisha tersenyum dengan sedikit kerutan di keningnya. "Yakin mau pelihara kucing ?"

"Ya yakin dong." balasan Tavisha membuat kerutan di kening Nayara semakin dalam. "Terus, waktu kamu kerja siapa yang mau ngurusin si kucing ? Setahu Mama, jam kerja kamu sesibuk itu lho."

Ucapan sang ibu membuat Tavisha meringis. "Iya juga ya, Ma. Ini untung aja hari Minggu, jadi aku bisa ngurusin dia." Tavisha kali ini menghela napas. "Aku kasihkan ke temen aku yang suka kucing aja kali ya, Ma ?"

Nayara mengedik pelan. "Ya terserah kamu. Tapi kalau memang mau kasihkan, kasihkan sekarang aja, mumpung kamu belum terlanjung sayang sama si kucing." perkataan Nayara malah membuat Tavisha terkekeh. "Astaga, Ma, kok kata-katanya jadi melankolis gitu sih."

Kekehan Nayara langsung bercampur dengan milik Tavisha. "Habis ini mau bikin buku kumpulan puisi aja kali ya, Tav. Ide bagus juga sih, Mama lagi bingung mau habisin waktu pakai cara apa lagi. Semua kesibukan Mama sudah kamu ambil alih."

"Ya kalau Mama mau bantuin aku sedikit-sedikit juga boleh, asal Papa bolehin aja." balas Tavisha yang membuat binar mata Nayara perlahan terbit. "Beneran, Tav ?" tingkah sang ibu malah membuat kekehan Tavisha kembali terdengar. "Ma, usaha itu kan Mama yang merintis, ya boleh-boleh aja, dong. Tapi inget lho ya, syaratnya Mama harus dapet izin dari Papa. Kalau nggak, nanti Tav yang disalahin sama Papa."

Nayara mengangguk-anggukan kepala senang. "Ok, nanti malam Mama akan coba minta izin sama Papa."

"Minta izin apa ?" Nayara langsung meringis, ternyata tidak perlu menunggu sampai nanti malam untuk meminta izin. Padahal, dia kan belum dapat kata-kata manis agar suaminya bisa terbujuk.

Gilbert berjalan mendekati Nayara dan merangkulkan sebelah tangannya ke bahu wanita itu. "Minta izin apa, hm ?"

Tavisha nampak menahan tawa tatkala melihat ekspresi panik yang sempat terlintas di wajah sang ibu. Ia akhirnya memilih untuk berpura-pura sibuk mengurusi si kucing dari pada ikut terlibat dalam perbincangan orang tuanya. Wanita itu lalu memutuskan untuk pergi diam-diam ketika sang ibu mulai melancarkan kalimat-kalimat rayuan yang semakin lama semakin membuatnya tidak tahan untuk tertawa.

"Eh, Non Tavisha, kebetulan. Saya baru aja mau manggil, Non."

"Kenapa, Bi ?" tanya Tavisha kepada Bi Atun – asisten rumah tangganya.

"Ada tamu, Non. Cakep bener, tapi nggak bisa Bahasa Indonesia, Non. Udah Bibi suruh duduk di ruang tamu tadi." informasi yang baru saja keluar dari mulut Bi Atun membuat kedua mata Tavisha membelalak. Wanita yang sedang membawa kucing di gendongannya itu langsung berjalan dengan langkah cepat menuju ruang tamu.

Tavisha langsung mendesah kesal tatkala menemukan jika tebakannya akan sang tamu benar adanya. Si tamu adalah Cedric dan kini pria menyebalkan itu sedang duduk sembari menatapnya dengan seringai tengilnya. "Sepertinya, kau memang tidak bisa membiarkan hidupku berjalan dengan tenang ya." ujar Tavisha yang tengah melangkahkan kakinya ke arah Cedric.

Cedric terkekeh. "Kemarilah, aku akan memelukmu dan kau akan menemukan ketenangan hidup yang selama ini kau cari-cari." goda pria itu. Yang dilakukan Tavisha sebagai tanggapan pertamanya adalah melongo sebelum akhirnya mencerca pria itu dengan berbagai umpatan kekesalan.

"Ada urusan apa kau kemari ?" tanya Tavisha kemudian setelah mendudukan diri di sofa sebelah Cedric. Sebelah alis Cedric terangkat dan menjawab dengan santai, "Mengunjungi kekasih tidak harus ada alasan tertentu kan ?"

Once Upon A TimeOnde histórias criam vida. Descubra agora