{1} Mimpi Buruk

280 37 25
                                    

"Kapan kamu mau menikah? Umurmu sudah lebih dari cukup. Teman-teman sebayamu sudah pada punya anak. Kalau ditunda terus, nanti kamu keburu tua. Lihat itu anak Pak RT, nggak lekas nikah, eh, malah dapat duda. Kamu mau seperti dia?"

Maya membuka mata. Ia mengerjap dalam keremangan kamar kosnya yang sempit. Lagi-lagi, kalimat itu menjadi mimpi buruk, bahkan ketika Maya belum benar-benar tidur. Seperti malam-malam sebelumnya, barisan kalimat itu kembali merenggut jam-jam tidurnya.

Maya bangkit menuju kamar mandi untuk sekadar mencuci muka. Ia berharap segarnya air bisa meleburkan segala kegundahan yang membuat hari-harinya rumit. Lampu kembali dinyalakan, sebab Maya tidak yakin bisa tidur malam ini.

Gadis itu meraih ponselnya, mampir sebentar ke media sosial sebelum mulai menonton film. Beberapa hari belakangan ia sibuk mencari lowongan pekerjaan. Uang tabungannya yang tak seberapa semakin menipis. Ia belum mau pulang ke rumah dan meminta uang pada ibunya. Apa kata ibu nanti kalau Maya tiba-tiba datang hanya untuk minta uang? Sedangkan ia dengan sangat percaya diri minggat dari rumah dan yakin akan mampu hidup tanpa tunjangan dari orang tua.

Terdengar suara pintu dibuka dan kembali ditutup dari luar kamar, lalu disusul suara gesekan alas kaki ke lantai. Dari langkah yang agak berat, Maya bisa menerka siapa pencipta suara-suara yang biasa muncul tengah malam itu. Ia turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, dan melongok ke kamar sebelah.

"Mbak Lea baru pulang?" sapanya pada seorang perempuan yang tengah berdiri menghadap pintu kamar tepat di sebelah kamar Maya. Rupanya ia si pemilik suara-suara tadi.

Lea menoleh dan tersenyum pada Maya. Gurat kelelahan tampak jelas di mukanya. "Iya, May. Kamu kenapa belum tidur? Insomnia lagi?" balasnya. Urung membuka pintu kamar, Lea malah menghampiri Maya.

"Biasalah, Mbak, masih keinget ucapan Ibu," Maya menjawab lemas.

"Ada lagi? Mbak perhatikan, bukan itu saja yang mengganjal pikiranmu."

"Yah ... masalah finansial, sih," tutur Maya malu-malu.

"Udah habis duitmu? Mau Mbak pinjemin?" tawar Lea sungguh-sungguh.

Maya menolak dengan cepat, "Eh, nggak usah, Mbak. Masih ada, kok. Cukup untuk waktu dekat. Tapi ya, aku harus cepat-cepat dapat kerjaan kalau nggak mau kelaparan."

"Kamu mau kerja apa?"

"Apa aja, yang penting menghasilkan uang."

Lea tampak berpikir. Ia jadi bersemangat, lupa kalau tadinya ingin cepat-cepat rebahan.

"Oya, tadi ada temanku share info loker, kerjanya di kafe gitu. Nanti aku teruskan ke kamu, deh, biar kamu cek sendiri. Mau?"

"Boleh deh, Mbak."

"Ya udah, sana kamu tidur! Siapa tahu besok pas bangun udah ada jodoh."

"Ih, Mbak Lea! Serem tahu, kalau tiba-tiba ada cowok di kamarku."

"Yang bilang ada di kamarmu, siapa? Aku kan bilang 'ada jodoh', bukan berarti dia langsung muncul di kamarmu, kan?"

"Emm, iya sih."

"Maya, Maya. Jangan di kamar mulu. Sekali-kali keluar, dong! Otakmu butuh oksigen," pungkas Lea lalu melenggang pergi ke kamarnya.

Sepi, lagi. Hanya samar-samar terdengar suara berisik dari kamar Lea. Maya berdiri di ambang pintu kamar untuk beberapa saat, memperhatikan suasana kos yang lengang, sama seperti dirinya. Hatinya lengang, tetapi kepalanya penuh kekacauan.

~~~

Maya berdandan serapi mungkin, meskipun hanya melamar di kafe, tetapi baginya penampilan adalah hal utama yang patut diperhatikan ketika datang ke tempat kerja. Penampilan luar menjadi first impression bagi orang yang pertama kali bertemu, kemudian sikap dan tutur kata, barulah latar belakang—jika ingin mengenal lebih dalam. Namun, jika hanya untuk sekadar melamar pekerjaan, penampilan dan sikap yang tertata sudah cukup menjadi senjata untuk Maya.

Mencari pekerjaan baru dan memulai hidup baru seorang diri bukanlah hal mudah, Maya harus menjalani semuanya dari awal. Perdebatan dengan ibunya hari itu bak bola salju yang menggelinding, semakin jauh semakin membesar, kemudian berdebum saat menabrak benteng pertahanan Maya, meledak seperti bom.

Mati-matian Maya membangun benteng pertahanan itu agar egonya bisa ia kendalikan. Dibukanya akal dan hati nurani lebar-lebar supaya dirinya bisa tetap sabar dengan segala tuntutan ibunya. Namun, hari itu ia begitu lemah, bentengnya yang terus didobrak dari luar menjadi rapuh dan mudah dirobohkan dalam sekali hentakan. Makhluk bernama ego yang selama ini ia pasung di balik benteng itu, mengamuk tak karuan, lalu terlepas tanpa ia bisa kendalikan lagi.


Keesokan paginya—dengan mata sembab sebab menangis semalam—Maya pamit pada ibu tanpa memberitahukan tujuannya. Ibu diam saja, tak melontarkan sepatah kata pun untuk anak gadisnya. Harapannya luruh lagi, tetapi ia sudah bertekad, dan tak ada yang bisa menghalangi itu.

Dari Lea ia tahu bahwa kafe yang akan ditujunya itu baru akan buka satu jam lagi. Masih banyak waktu untuk bersantai sebenarnya, tapi Maya terlalu bersemangat mendapat pekerjaan, bahkan ia sudah bersiap sejak matahari baru saja menyembul di langit timur.

Maya tidak mau membuang waktunya sia-sia. Ia habiskan satu jamnya itu dengan bernostalgia.

Lokasi kafe yang akan ditujunya tak jauh dari kampus di mana Maya kuliah dulu, tapi lumayan jauh dari kosnya. Ia naik angkot dan turun di pertigaan karena angkot yang ditumpanginya tidak melewati rute ini. Maya pun harus rela mengorbankan energi dengan berjalan kaki menuju lokasi kafe.

Langkahnya terhenti di pintu utama kampus, pintu gerbangnya terbuka lebar seolah menyambut kehadiran Maya. Namun, ia tetap bergeming. Maya tidak berniat mampir meskipun hanya melihat-lihat, mengingat dia masih punya urusan yang lebih penting.

Kampus menyimpan banyak cerita tentang sebagian kehidupan masa mudanya. Tentang teman-temannya yang datang dari segala jurusan, walau akhirnya hanya beberapa yang benar-benar tinggal, sisanya entah ada di mana; tentang bagaimana lelahnya bolak-balik kampus demi mengejar dosen untuk bimbingan skripsi, hanya supaya ia tidak menambah semester lagi dan dilabeli 'Mahasiswa Abadi'; dan tentang kandasnya asmara yang menorehkan luka.

Maya tersenyum perih. Luka itu belum sembuh benar, hanya terlupakan karena si empunya sibuk mengobati luka-luka baru.

~~~

Maya melanjutkan perjalanannya, ia tak mau terlena begitu lama dengan kenangan-kenangan yang telah disimpannya rapat-rapat.

Jalanan mulai dipadati pemakai jalan, ruko-ruko yang berjajar di kanan dan kiri jalan juga mulai menampakkan kehidupan. Maya mampir sejenak ke minimarket, ia membeli sebotol air mineral, sekotak susu cair rendah lemak, dan sebungkus roti. Ia belum sempat sarapan di kos tadi. Maya berharap semoga badannya tidak gemetar sebab menahan lapar.

Maya duduk di kursi yang disediakan minimarket di pelataran sambil menghabiskan sarapan kecilnya sebelum lanjut ke tempat tujuan. Hari bahkan belum berjalan setengahnya, tapi Maya merasa pagi ini sudah cukup berat. Jika tidak dimulai dengan sarapan, mungkin ia akan pingsan di jalan.


Kafe yang merangkap resto itu terlihat jelas dari seberang jalan, tepat di simpang empat. Sebuah ruko yang disulap dengan desain unik, perpaduan antara gaya modern di bagian eksterior dan gaya retro di bagian interiornya. Tempat itu sangat mencolok di antara bangunan-bangunan di sekelilingnya dan hanya satu-satunya kafe yang berlokasi di area ini.

Sepasang netra Maya terpaku pada tulisan besar dari neon yang terpampang di bagian depan kafe. Ia merogoh ponselnya di dalam tas dan memeriksa kembali foto yang dikirim Lea kemarin, mencocokkan dengan nama kafe itu. Setelah yakin tak salah tempat, Maya memasukkan kembali ponselnya lalu menyeberang jalan, melangkah dengan pasti.

Ia berhenti sejenak di pelataran kafe, membaca ulang namanya dan tersenyum geli. Mungkin pemiliknya kehabisan ide saat mencari nama yang pas untuk kafenya—yang biasanya filosofis biar disukai golongan kaum senja—atau dia menganggap nama itu terdengar unik. Tulisan itu malah berbunyi persis dengan kondisi letak bangunan: 'SUDUT JALAN cafe and eatery'. 

DILEMAYA [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now