Ninda melihat dua orang pasutri dengan gaya yang cukup mewah, dilihat dari pakaian yang mereka pakai.

Netra Ayah Rian berbinar dan ia berucap girang. "Nah, itu putri saya turun Mas Herman dan Mbak Laila."

Wanita berwajah ayu, berpoleskan make up tipis itu tersenyum lebar. Ninda menebak umur beliau sepantaran dengan sang ibunda atau lebih tua sedikit dari Bunda.

"Wah, MasyaAllah cantiknya. Lihat Pa! Cantik 'kan calon menantu mama." puji Wanita bernama Laila itu.

Pria di samping wanita itu menganggukan kepala dengan netra berbinar pula. "Iya, sangat cantik. Mama the best lah nyeleksi calon mantu," kekehnya.

"Ninda salim dulu, Nak!" titah Bunda Nina.

Ninda mendekat lalu menyalami tangan Laila, untuk Herman ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Assalamu'alaikum om tante, perkenalkan nama saya Ninda,"

Laila bertambah senang melihat attitude calon mantunya, ia pun mengangguk riang.

"Salam kenal sayang, panggil Mama aja ya biar kita semakin akrab. By they way kamu cantik banget mirip sama Bundamu." puji Laila.

Ninda menunduk malu untuk menyembunyikan raut merah yang timbul di kedua pipinya. "Alhamdulillah, terimakasih tan eh mam."

"Sama-sama sayang,"

"Sebentar ya, Nak. Putra kami masih dalam perjalanan kamu duduk saja dulu." ucap Herman.

Ninda memaklumi, "Iya, gapapa, om,"

Herman terkekeh. "Papa saja biar sama kaya kamu manggil istri saya."

"Oh iya, Pa," jawab Ninda kikuk.

Bunda bangkit dan berpamitan untuk mengambil jamuan, sesampainya di dapur Bunda melihat bi Ani yang kepayahan menyiapkan jamuan.

"Bibi sudah belum, Bi? Tamunya sudah datang," ujar Nina yang berdiri dekat meja makan.

"Nggeh, sebentar, bu," sahut Bi Ani merapikan cangkir diatas nampan.

"Jangan lama ya, Bi. Kasihan mereka sudah nunggu lama," Nina berkata kembali.

"Niki mpun dados kok bu" Bi Ani berjalan mendekati posisi Bunda sembari menyodorkan nampan yang berisi sebuah teko dan beberapa gelas serta beberapa toples berisi camilan.

"Monggo, mang dibeto" kata Bibi.

"Matursuwun, bi" Bunda mengambil alih nampan itu dan berjalan kembali ke ruang tamu.

"Nggeh bu,"

Bunda meletakkan nampan di meja lalu menaruh satu per satu cangkir di hadapan mereka semua."Maaf ya mbak mas menunggu lama hehe. Jadi ga enak saya ini, punya tamu kok gak disuguhkan apapun."

Mama Laila terkekeh, "Tidak apa-apa, Mbak. Santai aja,"

Bunda tersenyum kikuk, "Tapi ya tetep ndak enak. Maaf sekali lagi ya, Mbak."

"Astaghfirullahalazim, Mbak. Sudah tidak apa-apa, kok."

"Nah, mari Mas Mbak monggo dicicipi. Maaf bila seadanya,ya." Ayah Rian mempersilahkan Laila dan Herman untuk minum.

"Tidak masalah Rian, ini sudah lebih cukup iya 'kan,Ma," ujar Herman meminta pendapat istri.

Laila mengangguk membenarkan ucapan Herman. "Iya, Pa,"

*****

Sebuah mobil mewah berwarna putih masuk ke perkarangan rumah besar milik Ninda dan mobil itu membunyikan klakson agar Pak Hardi supir sekaligus satpam membuka gerbangnya.

Imamku Musuhku [ END ]Where stories live. Discover now