4

214 16 7
                                    

Resepsi selesai pukul 8 malam. Sekarang ini bunda tengah membantuku kembali menuju kamar untuk bersih-bersih badan.

Para tamu sudah tidak ada lagi, hanya beberapa kenalan ayah yang beliau temui sendiri bersama dengan mas Biru. Aku dan bunda cukup menyapa di awal.

"Alhamdulillah, capek."

Bunda tertawa, "Capek, Ay. Tapi seneng, kan?"

"Seneng, bund. Ayla masih enggak menyangka."

"Huu, mentang-mentang sudah menikah, pakai acara nggak menyangka. Sombong tuh." Sela El.

Adik laki-lakiku itu datang dari luar kamar, dan tiba-tiba saja mengambil tempat di sampingku duduk di atas kasur.

"Tadi El lihat wajah mbak Ayla merah sekali waktu datang bersama kakak ipar." Sambungnya.

Bunda dan El lalu tertawa bersama di hadapanku. Kami berbincang sebentar di dalam kamar, walau nyatanya mereka hanya senang menggodaku.

Meski begitu, senyum cerah tak pernah luntur dari wajahku. Kebahagiaan ini, perasaan membuncah yang terasa asing, namun aku menyukainya. Seakan tidak akan ada hal menyebalkan yang bisa melunturkan rasa itu.

"Sudah, El. Ayo keluar, mbakmu ingin bersih-bersih." Kata bunda sebelum akhirnya menarik El untuk keluar dari kamarku.

Aku tertawa, lalu setelah bunyi pintu di tutup, aku langsung merebahkan badan ke atas kasur. Lelah, berdiri seharian, menyapa tamu, dan tersenyum kepada banyak orang.

Dengan segera aku beranjak untuk membersihkan diri sebelum rasa kantukku semakin menyerang. Membersihkan make up saja sudah sangat merepotkan, belum lagi melepaskan kebaya.

Butuh waktu hampir satu jam bagiku untuk menyelesaikan segala pernak-pernik mandi dan menata barang-barang. Dan tepat setelah aku memakai piyama ku, pintu kamar di ketuk dan terbuka.

Mas Biru muncul, masih dengan pakaian yang sama. Senyumnya merekah lalu melangkah mendekatiku. Yang tidak aku duga adalah, ia memelukku lembut.

Aku bisa merasakan dagunya berada di atas kepalaku karena perbedaan tinggi badan kami. Jantungku langsung merespond baik, aku belum siap mati muda.

"Mas lelah sekali, Ay."

Tanganku terangkat, membalas pelukannya dengan kaku. "Iya Ayla juga, mas Biru lebih baik mandi dulu."

Ia lalu mengurai pelukan kami, mengusap kepalaku yang masih terbalut hijab bergo hitam. Memang sejak tadi aku masih menggunakan hijab karena, masih merasa malu.

Bukan aku tidak percaya kepada mas Biru, tapi aku belum terbiasa dengan adanya sosok lain yang dapat melihat mahkotaku selain ayah dan El. Aku masih menyiapkan diri.

"Ayla belum mau melihatkan nya kepada mas?"

Aku mengerti maksudnya tentu saja, "Mau."

"Mas mandi dulu saja tapi, ya? Ayla masih," Aku menundukkan kepala, "Malu."

Mas Biru terkekeh pelan lalu mengangguk. Jemarinya mengangkat daguku pelan, "Nggakpapa, Ayla. Kalau masih merasa ragu, mas nggak akan memaksa Ayla untuk—"

"Ayla nggak pernah ragu, mas. Maaf jika perilaku Ayla saat ini membuat mas Biru merasa begitu. Ayla percaya mas Biru, kok."

Ia mengangguk lalu berlalu dari hadapanku, tapi aku menahan pergelangan tangannya cepat, "Mas maaf, baju mas Biru mau Ayla siapkan atau mas Biru ambil sendiri?" Ujarku pelan, masih menunduk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 06, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Landing (REST)Where stories live. Discover now