1

445 24 4
                                    

Kaki dengan balutan sepatu berwarna putih itu melangkah perlahan di sela hiruk piruk keramaian. Bola matanya jeli memperhatikan setiap pergerakan para adik tingkat yang melakukan tugas mereka masing-masing.

Hari pertama bazar pesantren memang selalu ramai. Bazar rutin yang di adakan oleh pihak pesantren, ajang bagi para santri untuk menambah korelasi dan pengetahuan tentang mengelola sebuah acara.

Aku—Ayla, sudah menjadi kakak tingkat terakhir, tugasku hanya sebagai pengawas tahun ini. Mengawasi jalan nya acara, memastikan semua berjalan lancar, sembari terus waspada jikalau ada panggilan dari ndalem.

'ndalem : istilah khusus yang di gunakan santri untuk menyebut kediaman keluarga pengasuh pesantren.

"Ayla!"

Aku memutar badan, menatap seorang gadis berjilbab maroon yang sedang berlari kearahku. Dan begitu sampai di hadapanku, nafas nya tidak beraturan, tentu saja.

"Kalem, Sya. Kenapa?"

Meisya memegang pundakku, "Kamu dipanggil ke ndalem, katanya lagi ada tamu."

Setelahnya, giliran aku yang mengambil langkah cepat. Memang sudah menjadi tugasku untuk melayani keluarga mereka karena aku mengabdi disana.

Istilah itu sudah sering di gunakan di kalangan para santri/santriwati. Bukanlah sesuatu yang aneh pula, hal ini wajar. Mengabdi.

Aku menghela nafas lega mengetahui bahwa pintu belakang masih terbuka. Sambil membetulkan tatanan pashminaku, aku perlahan melangkah masuk.

Sudah ada dua orang adik tingkat yang memang juga mengabdi bersamaku. Mereka nampak senang ketika melihat kedatanganku.

"Sudah di buatkan minum?"

Mereka mengangguk, lalu salah satu dari mereka yang aku tahu bernama Kia menggengam tanganku, "Tadi bu Kyai nitip pesan, katanya harus Kak Ayla yang antar ke depan."

Sempat merasa heran, namun aku tetap melakukannya. Segera, aku angkat nampang berisikan beberapa cangkir teh juga toples makanan ringan.

Ada gorden pembatas antara rumah depan dan dapur yang jaraknya juga tidak terlalu jauh. Meski sudah sering melakukan tugas ini, tapi kegugupan itu pasti selalu datang jika di hadapkan dengan para tamu Kyai.

Aku bisa merasakan perhatian orang-orang itu langsung beralih padaku, pembicaraan mereka juga berhenti.

Sambil meletakkan bawaanku, dalam hati tidak henti-hentinya berdo'a semoga tanganku tidak terlihat gemetaran. Pandanganku juga terus terpaku pada gelas-gelas yang telah aku letakkan rapi di atas meja.

Membungkuk sebentar pertanda undur diri, namun pegangan pada jemariku membuat aku seketika menoleh.

"Tunggu sebentar, Ay." Begitu kata bu Kyai.

Dengan patuh, akhirnya aku berdiri di belakang kursi yang di duduki oleh beliau. Dengan tangan yang masih memegang nampan, juga pandangan yang terus menatap ke arah lantai.

Percakapan mereka berlanjut, aku diam-diam mendengarkan dari tempatku berdiri. Lalu tubuhku seketika merespond apa yang baru saja aku sadari. Sesuatu yang di tangkap oleh indera pendengarku.

"Berarti sekarang sudah di Balikpapan terus, ya?"

"Injih, Kyai."

Injih : Iya

Meski hanya kalimat singkat, namun aku tidak mungkin salah mengenali. Aku tahu betul suara itu, suara yang sudah tidak aku dengar lagi semenjak 5 tahun silam.

Aku menahan mati-matian debaran jantung yang tiba-tiba saja menguat ketika berhasil sadar. Tanganku saling bertaut, meremas satu sama lain, menahan gejolak perasaan.

Landing (REST)Where stories live. Discover now