31. Via Suara

99 34 2
                                    

Tubuhnya kaku, semua seakan mati rasa. Mengedipkan mata pun hanya bisa dilakukannya perlahan. Satu yang ia sadari bahwa sekujur tubuhnya terpasang alat penunjng hidup sebelum satu per satu dilepas, kecuali alat bantu napas tentu saja.

Dilihatnya sekeliling dengan memutar bola mata, yang tampak hanya plafon putih dengan dinding samping berwarna abu. Tidak lupa orang-orang yang mengelilingi, dokter juga perawat.

Ia sempat ditanyai beberapa pertanyaan untuk mengetahui fungsi indranya dan hanya kedipan mata yang ia beri sebagai jawaban. Normal. Ia hanya perlu waktu dan beberapa kali fisioterapi untuk pulih.

Sampai dokter dan perawat itu pergi, Nizwa baru mendekat. Raut keterkejutan jelas kentara di wajah lelaki itu mendapati Nizwa di sana. Asgard ingin berbicara, tetapi kesulitan.

Nizwa menggeleng beberapa kali. "Jangan dipaksakan, Asgard." Perempuan itu tersenyum seraya menjatuhkan setitik air mata. "Allah sangat baik padaku hari ini."

Sampai sore, Nizwa tetap berada di ruangan tempat Asgard dipindahkan, kecuali jika melakukan kepentingan lain seperti salat. Ia bahkan tidak peduli bahwa dirinya belum istirahat sama sekali sejak tiba di Italia subuh tadi.

Saat maghrib menjelang, dua kata berhasil lolos dari bibir Asgard. "Nizwa, lapar."

Sejenak Nizwa tertegun sebelum melemparkan tawa. Ia yang tadinya duduk di sofa, segera bangkit dan mendekat.

"Mau sedikit kutinggikan bagian kepala? Kamu sudah mampu?" Pertanyaan itu disambut anggukan pelan oleh Asgard. Dari tadi siang memang sudah ada kemajuan, Asgard mulai bisa menyesuaikan diri.

Selesai mengatur brankar lelaki itu, diraihnya semangkuk bubur yang disediakan rumah sakit. Nizwa lantas duduk di kursi yang ada dan mulai menyuapi Asgard dengan sabar.

Pandangan Asgard sama sekali tidak lepas dari Nizwa. Ia tidak tahu ini akan terhitung zina atau tidak, yang pasti ... Asgard sangat bersyukur perempuan itu ada di sana.

Setelah tandas, Nizwa meletakkan mangkuk kosong ke nakas dan beralih pada segelas air mineral. Perempuan itu dalam posisi berdiri saat membantu Asgard minum. "Maaf jika tanganku tidak sengaja menyentuh kepala atau rambutmu."

Karena ucapan itu, mau tak mau Asgard tersenyum sambil meringis pelan.

Selesai dengan itu, Nizwa pamit untuk menunaikan salat Maghrib. Kembali ke ruang rawat lelaki itu, ia dibuat terkejut karena Asgard nekat berusaha meraih tasnya yang berada di ujung nakas.

"Bahaya, Asgard," omelnya. Perempuan itu berakhir dengan mengambil ransel milik Asgard. "Apa yang kamu cari? Aku carikan. Tidak apa-apa, kan?"

Sekali anggukan diberi Asgard. "Jurnal."

Tanpa diminta dua kali, Nizwa mencari benda yang dimaksud Asgard. Ketemu, itu jurnal hitam yang pernah dilihatnya di pesawat.

Nizwa menyodorkannya pada Asgard. "Aku bingung, apa kamu tidak menuliskan identitas, alamat, atau semacamnya di jurnal itu? Juga, semua dokumenmu. Pihak rumah sakit benar-benar tidak menemukan apa pun."

Asgard menggeleng. Ia lantas membuka catatan terakhirnya. Hanya berhenti pada Januari 2019. Tunggu!

"Berapa lama aku tidur, Nizwa?"

Perempuan itu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Empat bulan kurang lebih. Kamu koma selama itu."

Hati Asgard mencelos. Tidakkah itu terlalu lama? Ia telah melewatkan banyak hal.

Menyadari sesuatu, Asgard menatap Nizwa sangsi. "Keluargaku?"

Perempuan itu pun seakan baru ingat ada hal yang harus dilakukan, menghubungi Gahya dan mengatakan bahwa Asgard tidak apa-apa sekarang. Lelaki itu aman.

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now