11. Ultimatum dalam Cinta

142 39 1
                                    

Istana Murabba dibangun di atas sebidang tanah yang disebut Murabba Al-Sufyan oleh Raja Abdul Aziz. Bangunan persegi bergaya tradisional Najdian itu, dibangun menggunakan bahan batu bata lumpur, batu lokal, batang tamariska, dan batang daun palem.

Menurut dokumen di Yayasan Penelitian dan Arsip Raja Abdul Aziz, dulunya bangunan megah itu digunakan untuk pertanian saat musim hujan sebelum beliau pindah ke sana tahun 1938. Sejak saat itu pula, Istana Murabba dijadikan sebagai istana pemerintahan dan tempat untuk menyambut tamu-tamu kenegaraan. Namun kini, istana tersebut sudah beralih fungsi menjadi museum.

"Jadi ini tujuan kamu minta Mas datang ke Riyadh? Bukan karena rindu, tapi agar diajak jalan-jalan sebelum belajar di Mahad Lughah." Asgard tersenyum meremehkan di samping Gahya, sementara adiknya itu meringis pelan dengan tangan yang masih menggamit lengan kanan Asgard.

Mereka sedang berada di tengah-tengah bangunan yang terbuka tanpa atap. Sejauh mata memandang, yang mereka temukan adalah dinding kokoh dengan banyak pintu serta pohon kurma di halaman. Menakjubkan, begitulah yang digumamkan Gahya sejak memasuki kompleks Istana Murabba.

"Yang ikhlas kenapa, sih, Mas. Habis ini kita bakal nggak ketemu lama, loh." Gadis itu melepas gamitannya, lantas mengangkat kamera yang sedari tadi tergantung di leher. Diarahkannya benda itu ke salah satu sudut istana, lalu memotret dengan sekali menekan tombol shutter setelah mengatur command dial.

Asgard hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Gahya. Adiknya itu benar-benar licik.

Setelah melihat hasil jepretannya, Gahya kembali menoleh pada Asgard. "Tumben nggak bawa kamera."

"Tidak sengaja terbanting waktu di Swiss, rusak."

Keduanya kembali berjalan bersisian, mengelilingi museum yang menjadi saksi bisu kerajaan Arab di masa lampau itu. Banyak kebijakan besar dan penting diambil di Istana Murabba pada masanya, termasuk penerbitan mata uang Saudi.

"Kenapa kamu memilih Istana Murabba untuk dikunjungi, Ya?" Tanpa menoleh, Asgard bertanya.

"Pertama, karena lumayan dekat dengan Mahad Lughah, cuma tiga puluh kilometeran. Kedua, Murabba kan, memegang peranan penting dalam sejarah Kerajaan Saudi, Mas." Gahya memandang tajam Asgard karena gamis panjangnya tak sengaja diinjak lelaki itu. "Nanti gamisku kotor, jangan diinjak."

Asgard segera melompat, membuat jarak dengan adiknya. Ia mengedikkan bahu sebelum berkata, "Maaf, tidak sengaja. Lagipula, gamis kamu itu kepanjangan, Ya. Sampai keseret-seret. Nanti kalau tidak sengaja terkena najis bagaimana?"

Ekspresi kesal tak bisa disembunyikan Gahya. Perempuan itu mengerucutkan bibir, membuatnya tampak menggemaskan. Ia kembali membiarkan kameranya menggantung dan melipat tangan di depan tubuh.

"Lebih baik kepanjangan daripada kependekan, Mas. Kena najis bisa disucikan lagi, kok. Aya juga bisa ganti pakaian, gampang. Aya lebih takut kalau aurat Aya kelihatan."

Tanpa sadar, Asgard menyunggingkan senyum lebar. Salah satu hal yang ia sukai dari sang adik, gadis itu sangat menjaga auratnya. Asgard juga ingat bahwa Gahya pernah menangis semalaman sewaktu Madrasah Ibtidaiyah hanya karena ia lupa mengikat rambutnya, sehingga sedikit tampak dari luar jilbab. Asgard mensyukuri hal itu, sangat. Hal itu juga yang membuatnya berusaha sebisa mungkin menjaga sang adik dari fitnah.

"Iya, terserah kamu. Ayo, lanjut."

Seharian berkeliling, tak membuat mereka berhenti mengagumi Istana Murabba. Memiliki kesempatan melihat salah satu bangunan penting di Saudi, merupakan anugerah yang besar bagi keduanya.

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now