10. Logika Sakyanasta

159 44 1
                                    

Sampai di Riyadh, Asgard bergegas menemui Gahya yang masih bermalam di penginapan, di salah satu Starbuck tak jauh dari Mahad Lughah, tempat Gahya belajar nantinya. Memang, sebelum benar-benar menempuh S1, Gahya harus mengikuti kelas bahasa Arab di Mahad Lughah.

Gahya hampir berteriak tatkala melihat Asgard datang sambil menenteng ransel. Wajah lelaki itu tampak sangat kuyu karena belum istirahat sama sekali. Gadis berabaya hitam dengan khimar lebar berwarna senada tersebut sudah berdiri, hendak memeluk sang kakak. Namun, lelaki itu menghentikannya dengan gestur tangan.

"Ini tempat umum," peringat Asgard, lantas duduk dan menghempaskan punggung pada sandaran kursi.

"Mas nggak asyik, padahal kan Aya kangen. Udah lama kita nggak ketemu dan bakal lama nggak ketemu loh, Mas. Lagian, Mas Asgard kan masnya Aya, kenapa nggak boleh peluk? Nggak dosa, kok." Ekspresi Gahya sangat keruh. Tampaknya, ia benar-benar kesal karena itu. Jelas saja, ia sungguh rindu dengan Asgard.

Lelaki di seberangnya hanya mengembuskan napas panjang. Tak lama, ia mengambil segelas kopi di hadapan Gahya dan meminumnya tanpa permisi.

"Maaf, Mas haus." Ia kembali menghempaskan punggung ke sandaran kursi setelah meletakkan gelas kopi yang sudah tandas isinya.

Lelaki itu memandang Gahya lekat, memperhatikan wajah cantik sang adik. Benar-benar mirip bunda mereka. Gahya memiliki kulit putih sedikit pucat dengan bibir merah alami. Hidung gadis itu terbilang kecil, tetapi mancung dengan proporsi yang pas. Yang membuat perempuan lain sering iri, Gahya memiliki alis tebal dan bulu mata lentik, hasil turunan sang ayah. Tak lupa, manik memesonanya yang berwarna madu.

Asgard jadi teringat tentang kata-kata Moana yang menyatakan bahwa Gahya sempurna sebagai seorang perempuan. Agaknya mungkin benar, tetapi ... baginya Gahya adalah adik yang cerewet dan sering menyebalkan.

"Kenapa, Mas? Aku cantik, ya? Wah ... jelas, Gahyaka memang selalu cantik seperti Bunda." Kedua tangan gadis itu menghimpit pipi, membuatnya tampak menggemaskan. Ia memang seajaib itu, bisa mengubah suasana hati secepat kilat.

"Kalau kecantikan kamu tiba-tiba diambil sama yang kasih, Mas akan ketawa paling kenceng, Ya. Jangan ujub."

Mendengar ucapan sang kakak, seketika gadis itu beristighfar. Berbicara dengan Asgard memang harus hati-hati. Niatnya bercanda, bisa menjadi masalah serius jika berhubungan dengan kakaknya itu.

"Mas tidak mau peluk karena menjaga kehormatan kamu, jaga-jaga untuk menghindari timbulnya fitnah. Kita memang saudara, tapi belum tentu orang lain berpikiran demikian. Lagipula, tetap harus ada batasan, apalagi di tempat umum, Aya."

Bukannya tersentuh, Gahya justru mendengkus. Ia lantas mengutak-atik ponselnya sebentar dan mengangsurkannya ke hadapan Asgard.

Laman Instagram, itu yang dilihat Asgard setelah meraih ponsel adiknya. Namun, yang membuat ia terkejut adalah ... akun yang ditunjukkan oleh Gahya.

"Gahya memang adiknya Mas Asgard, terbukti dari hobi dan kebiasaan kita yang sama. Fotografi. Akun itu galeri tersembunyinya Mas, kan? Hasil jepretan Mas Asgard semuanya ada di sana. Gahya hafal banget sama style fotografinya Mas."

Satu lagi sifat menyebalkan sang adik, Gahya selalu tahu yang ia sembunyikan. Ia harus mengacungi jempol kemampuan adiknya dalam hal stalking. Bisa-bisanya akun yang ia jadikan sebagai galeri digital ketahuan oleh Gahya, padahal sudah memakai nama yang tidak mudah dikenali.

"Menghindari fitnah, katanya. Itu foto banyak yang pakai model cewek, loh, Mas. Nggak takut fitnah?" sindir Gahya.

Asgard semakin lelah karena disudutkan sang adik. "Kamu tahu Mas bagaimana. Kehormatan perempuan tetap nomor satu untuk Mas. Mereka itu teman-teman Mas yang secara sukarela menjadi model dan memang mengizinkan fotonya di-posting, tidak ada maksud apa pun."

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now